Mencari Dawai bag.1

Matanya terus memandang kertas putih yang baru saja diterimanya. Tangannya bergetar membaca kata demi kata yang tertera dalam kertas tersebut. Tidak kuat lagi menahan beban berat yang dialaminya, dia pun menjatuhkan kertas itu.
“Nona, anda tidak apa-apa?”
Gadis manis berusia enam belas tahun yang dipanggil nona itu pun hanya menjawab dengan gelengan kepalanya. Kemudian dia menyenderkan badan di jok berbalut kulit berwarna hitam dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil yang sedang ditumpanginya.
Mercy bercat hitam itu terus berjalan melewati jalan-jalan kota Jakarta yang disesaki oleh beratus-ratus kendaraan bermotor dan juga rumah-rumah penduduk yang mungkin hanya berupa kontrakan satu petak. Tiba-tiba matanya menangkap sebuah spanduk yang mengumumkan sebuah acara pentas seni di depan sebuah pertigaan dekat dengan stasiun kereta Lenteng Agung. Merasa suntuk dan membutuhkan hiburan, gadis itu meminta supirnya untuk berbelok menuju tempat acara tersebut diselenggarakan.
***
Sekarang kakinya sedang berjalan dipelataran parkir kampus tempat terselenggaranya acara pentas seni yang dimeriahkan dengan banyak bazaar dan band-band kampus yang tampil. Dia sengaja meminta kepada supirnya untuk tidak mengikutinya karena dia sedang ingin menyendiri.
Kakinya berjalan melewati sederetan stand-stand bazaar yang menjajakan makanan, tas dan aksesoris, kaos-kaos seharga duapuluh ribu, kemudian buku-buku kampus yang diobral sampai mencapai tujuhpuluh persen. Sesekali dia berhenti pada salah satu stand dan melihat-lihat dan memutuskan untuk membeli beberapa buah aksesori handphone dan rambut. Kemudian matanya berkeliling menelusuri seluruh areal parkir memandang para pengunjung yang rata-rata merupakan mahasiswa kampus tersebut, dan dia baru sadar kalau kebanyakan pengunjung acaranya merupakan anak laki-laki. Kemudian matanya beralih ke depan sebuah gedung dimana didirikan sebuah panggung yang lumayan besar.
“Oke, terimakasih kepada band Black Gift!” teriak seorang laki-laki yang diduga merupakan MC dari acara ini.
“Bagaimana penampilannya menurut kalian? Bagus??” lanjut seorang anak perempuan yang merupakan partner laki-laki tersebut sebagai MC.
“Yaak, tanpa perlu menunggu waktu lama, kita saksikan kembali penampilan band berikutnya…, Band DAWAI!” ucap MC laki-laki tersebut sambil bertepuk tangan kemudian menghilang di balik panggung.
Tak lama, lima orang personil band yang namanya baru disebut itu pun naik ke atas panggung dan mulai mempersiapkan alat musik mereka masing-masing.
Mata gadis itu langsung terbelalak begitu melihat sosok jangkung berbalut kaos berwarna hitam polos dengan celana jeans belel yang sudah robek di lutut yang baru saja naik ke atas panggung.
“Selamat sore, Kawan-kawan. Kami dari Dawai akan membawakan lagu yang mungkin sudah tidak asing lagi bagi telinga kalian. Bagi kalian yang hapal lagu ini diperkenankan juga untuk ikut bernyanyi dan menggoyangkan tubuh kalian. Karena apa? Karena sore ini kita akan bersenang-senang dan melupakan semua penat yang terjadi pada diri kita. Oke?”
Setelah berkata itu, sang vokalis menoleh ke teman-teman bandnya untuk memberikan aba-aba. Mengalunlah petikan gitar tanda mulainya pertunjukan.
Mata gadis itu terus terpaku pada sosok yang tengah memainkan gitar tersebut.
“This Romeo is bleeding, but you can’t see his blood,”
Tubuh laki-laki itu tinggi dan atletis, tangannya yang menggenggam gitar terlihat begitu kokoh, kulitnya yang berwarna coklat akibat terbakar matahari, namun diatas semua itu, matanya tidak bisa lepas dari memandang mahkota lelaki itu, begitu panjang, begitu berkilau, begitu lembut dan terlihat sangat indah sekali.
Gadis itu tiba-tiba saja menangis, tas yang dia bawa dimana berisi barang-barang yang baru dia beli, jatuh di atas jalan. Lelaki itu telah membuatnya sangat iri.
***

Komentar

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2