Mencari Dawai bag.3

Seminggu sudah berlalu sejak acara Orientasi. Vio sudah memasuki kelas dalam jurusannya, jurusan Arsitektur, sejak hari keempat masa orientasi, yaitu hari kamis, namun belum memasuki masa kuliah jadi masih pada masa perkenalan jurusan dan senior serta pameran hasil karya para alumni berupa maket dan gambar-gambar desain tugas akhir mereka. Dalam angkatannya ada tiga puluh orang anak, tujuh orang anak perempuan termasuk dirinya dan sisanya merupakan anak laki-laki. Jadi semuanya berada dalam kelas yang sama dengannya dan dalam waktu singkat pun dia sudah menghapal semua nama anak-anak dalam kelasnya. Untuk pertama kalinya hari ini akan diadakan kuliah perdana bagi mahasiswa baru. Waktu baru menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Sejak terlambat pada masa orientasi, Vio memutuskan untuk selalu datang pagi-pagi sekali.
“Vi…, Vi!” tiba-tiba Rully salah satu teman seangkatannnya yang memakai jilbab berbisik padanya sambil menyenggol-nyenggol badannya.
“Apa?” jawab Vio males dengan kepala masih tiduran di atas meja.
“Liat senior yang lagi diri di depan pintu, deh! Gila ganteng banget!” ucap Rully.
Vio langsung menolehkan wajahnya ke arah pintu begitu mendengar kata ganteng, tapi dia jadi kecewa karena bukan orang yang dia harapkan.
“Biasa aja, cuma menang di putih doang!” komentar Vio kembali tiduran.
Sudah selama seminggu dia kuliah tapi tidak juga melihat orang yang sangat dia harapkan. Dia sampai berpikir jangan-jangan dia salah jurusan. Tapi telinganya tidak mungkin salah dengar. Rully memanyunkan bibirnya begitu mendengar komentar Vio.
“Ah, Vio nggak asyik! Tapi ngomong-ngomong namanya siapa ya?” lanjut Rully lagi sambil memainkan pulpennya.
“Rully mau tahu?”
Rully menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja Vio bangkit dari bangkunya dan berjalan mendekati senior yang ditunjuk oleh Rully. Tentu saja Rully kaget bukan main. Begitu berdiri di hadapan senior itu, Vio mengulurkan tangannya.
“Vio, mahasiswi baru, Kak. Nama kakak siapa?” ucapnya cuek.
Tentu saja senior yang tiba-tiba ditodong oleh Vio hanya bisa melongo, tapi kemudian dia dan temannya yang juga sedang ngobrol di depan pintu tertawa.
“Gue Wisnu,” jawabnya membalas uluran tangan Vio.
“Dan gue Sofyan,” timbrung temannya yang satu lagi sambil menyalami Vio juga.
“Ah, Kakak, ada teman saya yang juga mau kenalan sama kakak. Boleh kan?” todong Vio lagi. dan tanpa mendengar jawaban dari Wisnu dan Sofyan, Vio langsung menyeret Rully kehadapan mereka berdua, “ini Rully, angkatannya sama kayak aku.” Ucap Vio tersenyum.
Rully hanya berdiri malu-malu di depan Wisnu, dia jadi mati gaya. Merasa gemas melihat sikap Rully, Vio pun mengangkat tangan Rully dan Wisnu kemudian dia mempertemukan kedua tangan itu.
“Rully, ini Wisnu. Nah, dengan begini kalian sudah resmi saling kenal.” Senyum Vio.
“Anu, Vi…, gue nggak dikenalin juga?” timbrung Sofyan.
“Ah, iya, ini Sofyan. Ada yang bisa kenalan lagi nggak?”
Karena kejadian pagi itulah, Vio dan Rully bisa mengenal kakak-kakak senior yang lainnya, mulai dari angkatan paling tua sampai yang setahun diatasnya. Kak Wisnu sendiri ternyata angkatan 2006, hanya beda dua angkatan dengan mereka. Tapi Vio merasa kecewa karena orang yang diharapkannya tidak dia lihat juga.
***
“Vi, lo mau ikut unit kegiatan apa nanti?” tanya Endah yang berambut panjang lurus sepunggung yang duduk di depannya pada saat pergantian jam kuliah, jam sepuluh pagi.
Tadi jam delapan, baru perkenalan dosen yang mengajar mata kuliah Pengantar Studio dan sedikit mencatat. Dosennya sudah tua tapi masih cantik, bu Laksmi namanya. Selain dosen dia juga merupakan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan di kampus ini.
“Belum tahu, tuh! Kan belum ada perkenalannya. Jadi gue mana tahu mau masuk kegiatan apa. Kalo lo, Ndah?” jawab Vio sambil memainkan rambut panjangnya Endah. Dia suka sekali kalau melihat rambut yang panjang, padahal rambutnya sendiri juga lumayan panjang walaupun hanya sebahunya.
“Nggak tahu juga, sih! Paling cuma aktif di himpunan aja. Eh, ngomong-ngomong tadi gue denger dari cerita Rully lo kenalan sama semua senior tadi pagi, ya?”
“Nggak semua, kok! Yang kebetulan udah datang aja. Kenapa?”
“Ng… gue juga ada senior yang mau gue tahu namanya.” Ucap Endah ragu-ragu dengan wajah yang bersemu merah.
“Sip! Lo tinggal tunjuk nanti gue yang samperin,” jawab Vio tanpa ragu-ragu sambil memberikan tanda oke kepada Endah. Tentu saja Endah langsung kegirangan.
“Terus lo sendiri, ada senior yang lo taksir nggak?” timpal Rully yang baru saja datang sambil membawa tiga buah roti yang dia beli di koperasi jurusan yang terletak di lantai bawah.
Vio memanyunkan bibirnya, sedang berpikir, sambil mengambil sebuah roti yang diberikan oleh Rully dan membuka bungkusnya. Kemudian dia memainkan matanya dan akhirnya bicara, “Ada sih, tapi sekarang gue jadi nggak yakin kalo dia kuliah di jurusan sini. Secara udah seminggu gini belum nongol juga batang hidungnya.”
“Oya? Emang lo kenal dimana?” tanya Endah antusias yang juga sudah membuka rotinya dan juga menggigitnya.
“Orangnya ganteng nggak?” timbrung Rully juga.
Mendengar pertanyaan kedua temannya, Vio langsung mengacungkan kedua ibu jarinya tanda ganteng banget, “Gue kenal dia waktu acara pensi di sini.”
“Masa? Rully juga dateng, lagi survey kampus, siap-siap kalo nggak dapet universitas negeri. Kok, nggak ketemu, ya?” ucap Rully yang memang rumahnya berada dekat kampus.
Vio tersenyum mendengar ucapan Rully, “Pensi tahun lalu, Ru!”
“Oh, pantes…, terus emangnya lo liat dimana?”
“Lagi manggung.”
“Oya, band apa?”
Vio kembali memanyunkan bibirnya, “Ng… nanti aja, deh! Gue aja jadi ragu-ragu kalo dia kuliah disini apa nggak. Soalnya, kan, udah lama banget!”
“Ya udah, nggak usah patah semangat gitu, dong! Dunia kampus kita masih ada empat tahun ke depan,” hibur Endah sambil menepuk-nepuk pundak Vio.
“Eh-eh-eh…, males banget, deh! Minggu depan udah mulai puasa, padahal baru masuk kuliah, belum juga adaptasi. Mana kalo siang gue suka kelaperan gitu!” tiba-tiba Nita main nimbrung aja setelah melihat pengumuman di mading kalau awal puasa hanya libur sehari.
“Oh iya, ya…, minggu depan udah mulai puasa, ya?” balas Vio sambil menggigit rotinya.
Nita menganggukkan kepalanya kuat-kuat, sedangkan Rully dan Endah hanya cekikikan aja melihat tingkah Nita. Diantara anak-anak cewek seangkatan mereka, memang Nita yang berbadan paling gemuk walaupun perutnya tidak sampai membentuk tiga buah ‘ban pinggang.’
“Nggak apa-apa lagi, Nit, lumayan buat nurunin berat badan!” timpal Endah.
Nita cemberut mendengar ledekan Endah.
“Jangan begitu, justru gue iri sama badan Nita yang empuk kayak gini. Coba lo berdua liat badan gue. Pasti nggak enak buat ditidurin. Kena tulang semua!” bela Vio.
“Maksud loh? Enak ditidurin bagaimana?” balas Endah dengan tampang mesum.
Rully menjitak Endah, “Dasar porno! Tapi Vi, justru gue iri banget ngeliat badan lo lagi! Gue mau punya badan kayak lo!”
“Apa, Ru? Badan udah bagus kayak gitu masih mau dikurusin lagi? Aduh… Rully-Rully, lo tuh udah lebih pendek dari gue, kalo dikurusin lagi, mau keliatan kayak kurcaci?” cela Vio sambil tertawa.
“Tau, nih, Rully, kayak gue, dong..., mensyukuri!” balas Nita.
Rully hanya manyun aja menerima ledekan Vio.
“Iya, Ru, harus mensyukuri! Coba lo liat tangan Vio…, tinggal tulang gini! Dan lo bandingin dengan tangan Nita…, pasti kalo lagi nampol orang lebih sakitan ditampol sama Vio soalnya keras kena tulang!” canda Endah.
Rully tertawa mendengar candaan Endah, begitupun dengan Vio dan Nita.
***

Komentar

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2