5 Element part 1

Dipa menahan nafasnya. Dia paling sebel kalau sedang jalan-jalan keluar kota tapi kebelet pipis kayak gini. Memang dia anak laki-laki, tapi sejak kecil dia sudah dididik dengan keras oleh ayahnya tentang aturan membuang hajat. Tidak boleh berdiri dan tidak boleh pipis sembarangan di pinggir jalan, di semak-semak, terlebih lagi di tempat yang terbuka. (Yang terakhir tidak usah dipertanyakan lagi.)

Walaupun sebenarnya pada kenyataannya, ketika sedang tidak bersama ayah, dia seringkali pipis berdiri malah terkadang di tembok rumah orang yang sedang dia lewati.

“Dipaaaa…, jangan lama-lama! Ayah juga mau kencing!”

Dipa manyun, kenapa dia mau saja ikut sama ayahnya ke acara keluarga yang diadakan di Surabaya. Shifa juga membelot. Padahal gadis itu tahu sekali kalau dia paling anti pergi-pergi keluar kota bersama ayahnya.

“Ayolah, Dip, acara ini, kan, hanya diadakan lima tahun sekali. Dan kamu akan bertemu dengan ibu kamu di sana. Lagipula acaranya sekalian piknik menyeberangi jembatan Suramadu. Aku sudah tidak sabar ingin melihat luasnya lautan yang terbentang di hadapanku begitu aku menyeberanginya.”

Dipa memang tahu sekali kesukaan Shifa, sepupu sekaligus sahabatnya sejak kecil, yang berumur lebih tua tiga tahun dari dirinya ini. Shifa suka sekali pergi ke pantai, pergi ke kolam renang, pergi ke empang, pergi ke kali, pokoknya pergi kemana saja selama ada airnya sehingga sahabatnya itu bisa menyalurkan hobinya yang kelewat maniak, berenang.

“Iya, asal kamu nggak tiba-tiba ngotot aja minta mobil dibrentiin terus kamu terjun bebas ke laut.” Jawab Dipa saat itu.

Shifa nyengir mendengar celetukan Dipa. Melihat cengiran itu, Dipa langsung dihantui firasat tidak enak.

“Shi, jangan coba-coba!”

“Aduh, Dipa, jangan merusak kesenangan orang lain, dong!”

“Aku akan bilang sama ayah kalau kamu nggak usah diajak aja!”

Dan akhirnya, sudah sembilan jam perjalanan dia tempuh bersama ayah dan sepupunya dengan mengendarai TLC berwarna coklat keemasan. Dan sudah lima kali pula dia minta berhenti sama ayahnya ketika lewat di depan masjid ataupun pom bensin.

“DIPAAAA, KAMU DENGAR AYAH TIDAK, SIH? APA KAMU MAU AYAH KENCING DI CELANA?!”

***

Mata Dipa menerawang, memandangi pemandangan gelap di luar jendela mobil. Dipa tidak takut pada kegelapan dan dia memang bisa dibilang anak yang tidak takut apa-apa, kecuali ayahnya. Sementara itu di sebelahnya, Shifa sudah terlelap tidur dengan earphone yang masih menempel di telinganya memperdengarkan soundtrack dari film Transformer.

“Ayah, mau gantian nggak?” tanya Dipa sambil pindah ke jok depan di samping ayahnya.
Ayah menoleh sekilas, “Lho, kamu tidak tidur?”

“Nggak ngantuk.”

“Tumben, biasanya kamu yang paling pelor. Ada apa, nih?”

“Hawanya nggak enak.” Jawab Dipa pelan sambil membuka-buka CD album.
Ayah terkejut mendengar jawaban Dipa, “Hawanya nggak enak katamu?” tanya ayah serius. Nada suaranya berubah khawatir.

Dipa mengangguk ringan, “Mana, sih, CDnya… perasaan sudah dimasukin sebelum berangkat.”

“Sejak kapan kamu merasa hawanya tidak enak?” tanya ayah lagi.

Kali ini Dipa menoleh memandang ayahnya agak heran, “Sejak terakhir kali kita berhenti. Tapi itu mungkin hanya perasaanku aja, Yah, soalnya kamar mandinya bau sekali. Bahkan ketika aku sudah masuk ke dalam mobil pun aku masih mencium bau yang sama. Bau amoniak yang sangat tajam.”

“Amoniak katamu?” Dipa mengangguk, “Apakah sekarang masih tercium?”

“Tentu aja nggak, Yah. Kalau masih tercium berarti kan parah banget tuh kamar mandi!” Cengir Dipa merasa lucu juga mendengar pertanyaan ayahnya.

Tapi Dipa bertambah heran begitu melihat wajah ayahnya yang masih belum berubah, malah bertambah khawatir, bahkan bulir-bulir keringat menetes membasahi keningnya.

Tiba-tiba saja ayah menambah kecepatan mobilnya. Dipa terhenyak di joknya, dan dia baru sadar kalau dia belum memakai sabuk pengaman. Buru-buru dia mengenakannya.

“Ayah, ada apa?” tanya Dipa khawatir. Baru kali ini dia melihat reaksi ayahnya yang seperti itu. Biasanya ayah selalu tenang dalam menghadapi masalah. Dan kali ini dia sama sekali tidak mengerti mengapa hawa yang tidak enak dan bau amoniak bisa membuat ayahnya ketakutan seperti itu.

Ayah tidak menjawab. Dia tetap waspada mengendarai mobilnya. Sementara itu, karena merasa pergerakan mobil yang tiba-tiba, Shifa pun terbangun.

“Dipa, apa kamu mau ke kamar mandi lagi?” tanya Shifa mengucek matanya.

Tapi Dipa tidak menjawab. Tidak ada yang menjawab. Shifa merasa heran sekali. Mungkin karena insting, Shifa langsung memandang ke jendela belakang. Kosong. Tidak ada satu pun lampu mobil yang bergerak di belakang mobil ini. Biasanya dia akan merasa biasa aja, tapi entah mengapa kali ini, dia merasakan sesuatu yang menakutkan sedang berlari mengejar mereka di belakang.

“Om Dafa…,” gumam Shifa bergetar.

Kali ini, Om Dafa, ayah Dipa, menyahut, “Tenang aja, Shi, mereka masih jauh.”

Mendengar jawaban dari Om Dafa, membuat Shifa merasa agak sedikit lebih tenang.
Buru-buru dia membenarkan posisi duduknya dan mulai mengatur nafas untuk berkonsentrasi.

Kali ini giliran Dipa yang keheranan. Sepertinya ada yang diketahui oleh ayahnya dan Shifa tapi tidak diketahui olehnya.

“Siapa yang masih jauh, Yah?” tuntut Dipa.

Ayah menoleh sekilas, “Tidak usah khawatir, Ayah tidak akan menyerahkan kalian berdua pada siapapun. Dipa, sekarang kamu lakukan seperti yang Shifa lakukan. Kalian sering melatihnya bersama, kan?”

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Dipa tanyakan, tapi sepertinya keadaan sedang mendesak. Maka dia mulai melakukan seperti yang selama ini sering dilatih dirinya bersama dengan Shifa setiap Sabtu dan Minggu pagi.

Dipa mengepalkan jemarinya dengan ibu jari berada di dalam. Kemudian dia mulai menarik nafas dan menahannya selama beberapa saat. Dia mulai berkonsentrasi mencari frekuensi yang sama dengan Shifa. Butuh beberapa kali tarikan nafas sampai Dipa berhasil terhubung dengan Shifa. Dan saat itulah pikirannya langsung jernih dan merasa tenang. Dan dia juga bisa melihat ketiga bayangan itu.

Dipa membuka matanya dan langsung memandang ayahnya dengan tak percaya.

“Mereka itu apa, Yah?”

Tapi ayah tidak menjawab. Begitu tahu kalau Dipa bisa melihat mereka dengan jelas, itu pertanda bahaya sudah semakin dekat dan dia harus segera melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mereka semua.

“Om Dafa!!” pekik Shifa membuat Dipa terkejut.

Mengerti apa yang dimaksudkan oleh Shifa, Om Dafa semakin mempercepat laju mobilnya. Dipa masih tidak mengerti, dia menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi.

Awalnya dia hanya melihat kegelapan di belakang mobil. Namun perlahan-lahan, ada dua buah sinar lampu yang melaju mendekat dengan kecepatan yang mengejutkan. Dan saat itulah dia bisa mencium bau itu lagi, bahkan kali ini terasa lebih tajam dan membuat pusing.

“Shifa, apa mereka mengejar kita?” tanya Dipa berusaha menahan rasa mualnya.
Shifa tidak menjawab, dia hanya memandang Dipa dengan tajam dan tiba-tiba saja air mata menetes dari matanya.

Dipa terkejut melihat air mata Shifa. Shifa jarang menangis, baginya menangis merupakan pemborosan air yang ada di tubuh kita. Entah dia dapat teori darimana. Bagi Shifa semua air yang ada di tubuh kita harus dimanfaatkan dengan baik. Dan entah apa maksudnya. Shifa memang terkadang agak aneh.

Dipa meraih tangan Shifa, namun tiba-tiba mobil berguncang dengan sangat hebat. Shifa menjerit keras sambil menempelkan kedua tangannya di telinganya. Dipa kaget, matanya langsung nyalang menerobos kegelapan malam di belakangnya. Biasanya dia tidak akan bisa memandang apapun dengan mata telanjang dalam keadaan biasa. Tapi kali ini, seolah sedang memakai teleskop super, dia bisa melihat sejernih ketika dia melihat pada siang hari.

Mobil itu sudah semakin mendekat. Hanya satu buah mobil Hummer bercat hitam. Dan anehnya lagi, Dipa bisa melihat jumlah manusia yang berada di dalam mobil tersebut.

“Mereka menyeramkan sekali, Yah!” gumam Dipa.

“Ooom…,” rengek Shifa.

“Shifa, lakukan saja seperti yang biasa kamu latih. Dan apakah kamu bisa… mendatangkan kabut untuk menghalangi mereka?” ucap ayah tanpa sedetikpun berpaling dari kaca depan.

Dipa keheranan mendengar permintaan ayahnya pada Shifa. Mendatangkan kabut? Kabut itu kan salah satu fenomena alam dimana uap air yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban menjadi 100 %. Jadi, bagaimana caranya Shifa bisa membuat hal itu terjadi?

“Akan aku usahakan, Om,” jawab Shifa mulai mengatur nafasnya kembali.

Dipa melongo, ternyata sepupunya ini malah menanggapi serius permintaan ayahnya.

“Lalu… apa yang harus aku lakukan, Yah?” tanya Dipa penasaran.

Mobil bergetar kembali tapi kali ini disertai dengan hawa dingin dan bau yang menusuk hidung. Dipa menutup hidungnya. Baru kali ini dia begitu sensitive dengan bau-bauan. Dan itu lagi-lagi membuatnya merasa mual-mual.

“Kamu… bisa menyelamatkan kita dari situasi ini dengan mencari kita tempat yang aman dari jangkauan mereka.”

Lagi-lagi Dipa melongo. Aku menyelamatkan mereka? Bagaimana caranya?

“Lakukan saja! Kamu bisa melakukannya. Kamu adalah penguasa elemen tanah. Kamulah yang paling bisa menemukan tempat paling aman di dunia ini!” Teriak ayah ketika mobil di belakang sudah menyundul bemper mobil yang mereka tumpangi.

Apa? Apa yang baru saja ayah ucapkan? Penguasa elemen tanah? Apa ayah sudah gila?

“Dipa, ikuti aku! Kamu akan mengerti,” ucap Shifa akhirnya dan entah mengapa, Dipa bisa melihat kalau dari sekujur tubuh Shifa keluar aura berwarna biru yang sangat terang dan dia baru saja mengetahui kalau di luar terlihat gelap sekali karena ditutupi oleh kabut putih yang sangat tebal.

“Apa… apa yang terjadi?” gumam Dipa terpesona sekaligus merasa ngeri dengan apa yang dilihatnya.

BRAKK!

Kali ini bemper mobil ditabrak oleh Hummer hitam tersebut. Agak membuat Dipa terjengkang ke depan. Dipa berpegangan pada pintu, kemudian dia memandang ayahnya yang masih fokus memandang ke depan. Entah bagaimana caranya ayah bisa melihat dalam kondisi berkabut seperti ini tanpa menabrak apapun. Dipa beralih kepada Shifa yang masih terus memejamkan matanya dengan kedua tangan terkepal di depan lututnya. Dia bisa melihat bulir keringat mengalir di kening Shifa. Dipa tahu kalau tabrakan tadi pasti sempat membuyarkan konsentrasi Shifa karena kabut sempat menipis selama beberapa saat.

Kemudian lambat laun Dipa bisa merasakan aura ketiga orang yang mengikuti mereka perlahan menjauh. Namun dalam jarak seperti ini pun, dia masih bisa merasakan hawa menakutkan ketiga manusia tersebut. Itu juga kalau mereka memang manusia. Sampai lama, tidak terjadi apa-apa. Namun ayah masih terus melaju kecepatan mobilnya. Sampai akhirnya, Dipa bisa melihat keadaan sekelilingnya. Dipa menoleh kebelakang dan dia bisa melihat kabut tersebut masih berada di belakangnya.

Luar biasa! Kabut tersebut berhasil menahan mobil tersebut! Batin Dipa sambil memandang Shifa dengan takjub. Dia tidak tahu kalau sepupunya mampu melakukan itu. Selama ini dia pikir kalau dia memiliki sepupu paling aneh sedunia yang gemar sekali nyemplung dimanapun yang ada airnya. Shifa pasti penguasa elemen air.

“Dipa, bagaimana… apa sudah kamu temukan tempat kita bisa bersembunyi untuk sementara?” teriak ayah membuyarkan lamunan Dipa.

Dipa tidak tahu harus menjawab apa. Terus terang dia sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara menemukan tempat persembunyian yang aman karena daerah ini sama sekali asing baginya.

“Belum… belum, Yah!” gumam Dipa memberanikan diri.

“Lalu apa yang kamu tunggu? Konsentrasikan pikiranmu dengan alam disekitar sini. Shifa tidak akan bisa menahan mereka selamanya!”

Dipa kebingungan. Dia kembali menoleh ke belakang dan melihat kalau sepupunya, Shifa, masih saja memejamkan matanya. Ayah benar, Shifa tidak bisa terus menahan mereka. Dia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Selama ini yang dia pelajari bersama Shifa hanya bagaimana untuk mengatur nafas mereka dan mengembangkan “chi” yang ada di dasar perutnya. Tapi selama latihan pun, Dipa tidak pernah menganggapnya serius, dia selalu main-main ketika latihan. Malahan seringkali dia mengganggu Shifa yang sedang serius mengelola “chi”nya. Tapi kali ini, dia tidak bisa main-main lagi. Dia merasakan sendiri betapa kuatnya aura membunuh dari dalam Hummer hitam tersebut.
Dipa kembali menarik nafasnya dan menahannya dalam beberapa hitungan. Dia mengulangi untuk yang kedua kalinya, ketiga kalinya. Dan pada saat kelima kalinya, dirinya sempat tersentak begitu ada sesuatu yang menyentuh mata batinnya. Pada kelima kalinya, dia bisa mendengar suara-suara.

“Sudah malam-sudah malam, saatnya cari makanan,”

“Di sini… di sini…,”

“Manusia kurang ajar sudah menghancurkan rumahku!”

“Di sini… di sini, Manusia kecil…,”

Dipa langsung diserang sakit kepala yang amat sangat, seolah-olah ratusan suara itu merupakan hujan peluru yang menyerang otaknya. Dipa memaksakan dirinya untuk menarik nafasnya kembali. Dan ajaibnya sakit kepalanya mulai berkurang, dan perlahan-lahan, dia bisa membedakan makhluk-makhluk yang mengeluarkan suara-suara tersebut.

Akhirnya pada ketujuh kalinya, mata batinnya sudah terbuka semua. Dipa terpana. Walaupun matahari sudah terbenam di peraduannya, walaupun rembulan sedang malas menampakkan sinarnya, dan bintang-bintang terhalang oleh awan-awan yang menggumpal, namun saat ini dia merasa sedang berdiri di tengah hamparan padang rumput yang terang benderang dimana dia bisa melihat segala sesuatunya. Dan suara-suara itu tidak lagi terlalu mengganggunya, karena dia menemukan satu suara yang merupakan jawaban atas kondisinya saat ini.

Tepat pada saat itulah, ada sebuah cahaya berwarna merah yang tiba-tiba meluncur dan menghantam belakang mobilnya kembali. Mobil sempat oleng ke kanan dan ke kiri. Shifa pun terbanting menghantam pintu membuat keningnya berdarah.

Saat itulah kabut di belakang mereka menghilang, dan Dipa bisa melihat kembali sorotan lampu Hummer hitam tersebut yang melaju dengan kecepatan penuh.

“Shifa, kamu tak apa-apa?” tanya Ayah khawatir, melihat melalui kaca spion.

Shifa menggelengkan kepalanya, “Maaf, Om, aku tidak cukup lama menahan mereka.”

“Itu tidak masalah, dengan bantuanmu, kita sudah bisa berlari sejauh ini. Dengan jarak sejauh ini, mereka tidak akan bisa menyusul kita.”

BUMM!

Mobil kembali diserang dengan sinar merah tersebut.

“Sial! Ada penguasa api di antara mereka!” gumam Ayah, sekuat tenaga berusaha menahan kemudi agar tidak oleng.

Shifa berusaha untuk mengobati dirinya sendiri. Dia mengambil sebotol air mineral dan menyiramkannya ke atas lukanya. Shifa menarik nafasnya kembali dan menahannya selama beberapa saat.

BUMM! BUMM!

Ayah memutar mobilnya untuk menghindari serangan api. Beberapa kali api tersebut mengenai bagian belakang mobil, bahkan melesat melewati mobil dan meledak di depan. Sehingga seringkali ayah harus melakukan maneuver yang membuat mobil bergerak secara zig-zag. Api pun langsung membakar hutan di sekeliling mereka. Melihat kebakaran yang semakin membesar, entah bagaimana, ada sebuah tenaga yang menggerakan Shifa. Shifa langsung memposisikan tubuhnya kembali. Dia duduk tegak dan mengepalkan kedua jemarinya di depan lutut. Seolah tahu apa yang harus dilakukannya, Shifa menarik nafasnya, dan menekannya di dasar perutnya. Kemudian dia memejamkan matanya dan memusatkan fikirannya untuk memanggil satu-satunya alat yang bisa memadamkan kebakaran hutan seperti ini, awan Cumulo nimbus yang gemuk-gemuk karena berisi banyaknya tetesan air hujan.

Jauh di atas sana, seolah digerakkan oleh tangan yang tak kasat mata, gumbalan awan raksasa dengan panjang puluhan kilometer, berarak ke lokasi kebakaran. Petir menyambar-nyambar disertai dengan suara geledek yang memekakkan telinga.

Penyerangan sempat terhenti. Ketiga manusia itu pun sempat tidak percaya dengan mata mereka sendiri. Info yang mereka terima ternyata sangat meleset. Buruan mereka ternyata tidak selemah yang diberitakan. Mereka menyesal karena hanya menyertakan satu orang penguasa api kelas rendah sebagai penyerang jarak jauh.

Setelah berada dalam posisi yang tepat, seolah ditumpahkan dari ember raksasa, air pun membasahi hutan dan memadamkan api dalam waktu singkat. Tahu kalau bahaya masih mendekat, Shifa mengarahkan salah satu awan ke arah Hummer tersebut.

“Petir!” pekik Shifa berkonsentrasi penuh memandang obyek yang dituju.

Petir pun menyambar-nyambar dan sempat membuat Hummer tersebut oleng.

“Kerja bagus, Fa!” puji ayah tulus tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya.
Shifa tersenyum. Dan dia pun memanggil awan semakin banyak dan mengarahkannya pada Hummer pemburu mereka. Akhirnya mereka pun tertinggal terlalu jauh karena terlalu sibuk untuk mengurus petir-petir kecil yang memekakkan telinga dan memecahkan kaca mobil serta membocorkan empat buah ban mobil.

Namun ayah belum melambatkan laju mobilnya. Dipa bisa memahami itu, karena sejauh ini pun hawa menyeramkan itu masih terasa. Itu berarti para pemburu itu pun bisa merasakan mereka juga.

“Ayah, seratus meter di depan, belok ke kanan.” Ucap Dipa yang baru kali ini mengeluarkan suaranya.

Tanpa bertanya, ayah menuruti semua petunjuk Dipa. Melewati jalan yang semakin menyempit dan pepohonan yang semakin lebat. suara-suara hewan malam pun semakin terdengar jelas, burung kakak tua, jangkrik, kelelawar, dan serangga kecil lainnya. Mereka bertiga pun akhirnya sampai di sebuah tepi hutan.

“Apakah disini tempatnya?” Tanya ayah menginjak remnya.

Dipa terdiam sesaat untuk mendengarkan suara-suara yang sedari tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, disini. Mereka bilang, area disini terlalu tertutup oleh lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu itu tidak akan bisa merasakan kita disini.”

Ayah tersenyum. Setelah memarkirkan mobil, ayah merebahkan kepalanya sebentar. Dia pun memejamkan matanya. Mata tuanya ini sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi. Sehingga hal itu membuatnya cukup kelelahan. Shifa pun sama lelahnya seperti ayahnya. Serasa baru saja pulang dari perang yang sangat melelahkan.

“Dipa, bisa carikan kami makanan?” pinta ayah dengan mata yang masih tertutup.

Dipa tidak menjawab. Setelah diminta untuk mencari tempat persembunyian teraman untuk sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut kalau diminta untuk mencarikan makanan juga ditengah hutan seperti ini.

Dipa pun keluar dari dalam mobil. Kakinya berpijak di atas tanah. Dan saat itu jugalah, Dipa bisa merasakan tekanan yang sangat kuat dari tanah yang dipijaknya. Badannya bergoyang, tapi dia segera mengimbangi badannya lagi. Setelah itu, barulah dia bisa merasakan hubungan spesial antara dirinya dan tanah yang baru saja diinjaknya.

“Akhirnya kau datang juga, Manusia kecil.”

Dipa terkejut. Bukan karena baru mendengar suara itu, tapi dia merasa kalau suara itu seolah sedang berdiri di sampingnya. Dia berusaha untuk bereaksi senormal mungkin. “Terima kasih. Mohon bimbingannya.”

^^

Oleh Nichi781

Komentar

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2