One More Chance

781
Cintaku tak bisa habis untuknya.
Naif, tapi itulah cinta yang kurasa. Tak sepadan dengan waktu yang selalu tepat waktu.
Tapi tahukah kamu di mana letak ironisnya situasi ini, ketika menyadari cintaku ternyata berbanding terbalik dengan perjalanan waktu.
Pintaku ini nyaris mustahil. Tapi, jika memang bisa, sudikah waktu berhenti sejenak untuk mengabulkan inginku, agar bersamanya lebih lama lagi? Karena bersama dia selamanya pun sebenarnya tidaklah cukup....
Itulah sepenggal kisah yang bisa aku tuliskan kali ini. Memang sih blurp ini tidak terdapat dimanapun di dalam naskah. Tapi kurang lebih, pasti mewakili inti cerita dari novel ini kok.
Kali ini, justru aku mau menceritakan latar belakang bagaimana aku bisa menemukan satu sosok bernama Dawai dan Cello.
Saat itu tahun 2008, aku sudah tidak bekerja lagi, hanya tinggal di rumah sambil sesekali membantu di toko milik orangtua. Ceritanya sangat panjang kenapa aku sampai tidak bekerja lagi :D. Dan karena ini bukan tentang aku, jadi tidak perlu aku ceritakan.
Suatu hari yang begitu senggang, aku sedang nonton sebuah acara remaja di televisi, saat itulah aku melihat satu sosok cowok berambut gondrong dari acara pentas seni di sebuah kampus di Bandung, sedang tampil bersama gitarnya. Aku sempat terpana melihat keindahan rambutnya, dan berpikiran kalau aku harus menciptakan tokoh yang memiliki ciri-ciri fisik seperti ini. Jadilah sosok Cello. Hanya nama Cello. Kenapa memilihnya Cello? Karena aku keingetan sama adik kelas dulu waktu SMA yang bernama Marcello Tahitoe. Yup, Ello yang itu :D. Dulu sih dia dipanggilnya Cello, ga tahu kenapa sekarang terkenalnya Ello. Dan bukan berarti juga aku mengenal dekat dekat artis itu. Hanya mengagumi dari jauh saja kok :).
Tak lama kemudian, aku pun membaca sebuah novel yang berjudul "Ways to live Forever" terbitan Gramedia. Ceritanya tentang seorang anak yang menderita penyakit dan hanya memiliki waktu yang sedikit, tapi memiliki 10 keinginan yang ingin dia capai sebelum ajal menjemputnya. Aku benar-benar tersentuh membacanya, dan berpikir, aku pun harus menciptakan satu tokoh yang selalu pantang menyerah seperti ini walaupun maut senantiasa selalu mengintainya. Maka jadilah tokoh Dawai. Saat itu, aku lagi suka banget dengan kata "Dawai". Tapi itu juga lebih karena aku teringat sama judul filmnya Nicholas Saputra, Biola tak berdawai. Kupikir, karena tokoh cowoknya bernama Cello, maka tokoh wanitanya harus ada hubungan dengan alat musik juga. Kalau Biola, terdengar agak aneh ya. Jadilah aku mengambil bahasa inggrisnya, Violin. Maka jadilah Violina dawai. Kalau nama panjangnya, menyusul kemudian. :D.
Awalnya aku bingung bagaimana kisah yang akan terjadi di antara dua tokoh ini. Tapi yang pasti haruslah bersetting di dalam kampus, anak kuliahan. Memikirkan hal itu, aku pun jadi teringat pada kampusku sendiri dan kenangan-kenangan yang terjadi saat itu. Well, bisa dibilang, aku tidak memiliki banyak kenangan di kampus hitam tersebut. Bisa dibilang, kenangan yang aku miliki bersama teman-teman itu.... sangatlah sedikit.
Saat itu, aku masih merupakan seorang anak perempuan yang SANGAT IDEALIS! Dan merempet ke karakter SANGAT LUGU dan POLOS. Apa yang ada dipikiranku itu, sama sekali tidak ada sangkut pautnya untuk menjadi populer, terkenal, punya pacar, aktif di kampus dan sebagainya. Yang ada dalam pikiranku hanyalah, aku ingin kuliah sebaik mungkin, lulus cepat dan melanjutkan S2 ke Jerman. Tidak aneh kalau akhirnya aku mengambil 2 kuliah saat itu. Awal kuliah, segalanya berjalan dengan lancar. walaupun sedikit demi sedikit aku jadi tidak akrab lagi dengan dua orang sahabatku, Rida dan Rulia, which is nama mereka aku pakai dalam novel ini, aku merasa tidak masalah selama nilai-nilaiku baik semua. Sempat keteteran karena jarak kampus yang begitu jauh, Rawamangun dan Srengseng Sawah. Tahun kedua kuliah pun aku habiskan dengan sebagian besar berada di jalanan. Naik bus seorang diri, dan pulang naik kereta seorang diri. saat itu, aku benar-benar menjadi seorang penyendiri, ditambah lagi sifat aku yang juga tidak banyak bicara dan kurang gaul atau supel. Aku hanya fokus pada dua dunia yang sudah terlanjur aku ciptakan sendiri.
Tapi, saat kuliah tahun ketiga, ternyata aku harus terjeblos ke dalam dunia lainnya. Dan itu membuatku harus memikirkan tiga buah dunia yang akhirnya membuat segala rencanaku berputar terbalik seluruhnya. Aku harus memilih, dan aku tidak tahu mana yang harus kupilih, karena sifatku yang juga sangat tidak tegas.
Akhirnya, aku benar-benar tidak begitu dekat dengan satu orang teman pun. Mungkin mereka semua masih mau berbincang-bincang denganku hanya sebatas formalitas dan etika pergaulan saja. Karena aku pun juga berubah menjadi pribadi yang benar-benar tidak mau terlalu memiliki teman dekat. Teman cukup tahu diriku di permukaan saja. Mereka tidak boleh mengetahui pribadiku sampai terlalu menjauh. Saat itu, rasanya aku menjadi pribadi yang sedikit tidak mempunyai hati. Tapi aku banyak berpetualang mengelilingi kota Jakarta dan... mungkin menyakiti hati banyak orang, tanpa aku sadari. Sampai akhirnya, cita-citaku tidak kesampaian untuk kuliah di Jerman, dan aku kehilangan masa-masa kuliahku yang sangat berharga.
Oke, cukup mengenai latar belakangnya. Berdasarkan kisah itulah, akhirnya aku mengambil setting kampusku sendiri yang berada di daerah Jagakarsa, srengseng Sawah. Tentu saja dengan beberapa editan yang jauh lebih baik. Bagaimanapun, akhirnya aku mendapatkan kenangan yang begitu berharga saat-saat akhir masa skripsiku. Saat-saat akhir studio gambar, dimana banyak junior dan teman yang turun untuk membantuku menyelesaikannya. Menemaniku membuat maket, mengecek progress pembuatan maket, foto copy, mencari data, menggambar bersama, dan segala kebaikan yang mereka ulurkan untukku. Membuatku benar-benar tersentuh. Padahal aku nyaris tidak mengenal mereka semua. They really are a true friends.
Bisa dibilang, beberapa adegan di dalam novel ini, terinspirasi dari kisahku sendiri. Tapi tentu saja disesuaikan dengan kondisi tokohnya. Jadi, walaupun sebenarnya tidaklah penting tapi penting bagi diriku, dengan berhasilnya terbit novel ini, walaupun membutuhkan waktu yang lumayan lama, aku benar-benar bersyukur dan berterima kasih pada editor dan penerbit yang mau menerimanya. Harapanku, walaupun novel ini tidaklah sebagus novel-novel roman lainnya dan agak sedikit aneh mengingat karakter Dawai yang "jenius", sedangkan aku sendiri tidak jenius dan cenderung terlalu sederhana, para pembaca menyukainya, seperti halnya aku menyukai tokoh Dawai dalam novel ini. Lagipula, beberapa penulis cenderung membuat karakter yang sangat berlawanan dengan sifat mereka sendiri. Seperti halnya karakter Dawai yang begitu kuat, tegar, tegas dan pantang menyerah, aku berharap setidaknya aku memiliki sedikit dari karakter itu, untuk diriku sendiri, yang entah mengapa ada saja masalah yang datang. Lagipula, hey..., bukan hidup namanya kalau tidak ada masalah. :)
Jadi, selamat menikmati novel ini, teman-teman semua. Dan pesanku, untuk yang masih kuliah ataupun akan kuliah, ukirlah banyak kenangan yang mungkin akan kalian kenang dengan perasaan bahagia sepuluh tahun kemudian, dua puluh tahun kemudian. Jangan sia-siakan masa muda kalian. Untuk yang sudah seumuran diriku, mari kita kenang masa kuliah dengan secangkir kopi dan sepotong cake cokelat, diiringi live music yang menyanyikan lagu Bon Jovi, "It's my life".

Komentar

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2