Never Let Go Prolog dan Bab 1

Prolog

Pelukan hangat itu menjalar di sekujur tubuhnya. Sudah sangat lama sekali dia tidak pernah merasakan hal ini, mungkin karena disebabkan dia selalu berprasangka buruk dan terlalu sibuk menghindari Mama selama ini. Setelah semua masalah dibicarakan dan hatinya mulai terbuka, dia baru menyadari kalau dia sangat menyayangi ibunya itu.

“Kau baik-baiklah dengan Calvin. Hubungi Mama kalau semuanya sudah siap.” Senyum Mama melepaskan pelukannya. Matanya berkaca-kaca menatap wajah putri tunggalnya ini. Sudah tiga tahun mereka tidak saling bertemu dan mengunjungi satu sama lain, padahal mereka masih tinggal di negara yang sama. Hanya beda kota saja.



Kiran tersenyum pada Mama. “Ya, tentu, Ma!”

Setelah mereka saling melepas rasa rindu antara ibu dan anak, Kiran pun pamit pada ibunya. Dengan langkah ringan dan suasana hati yang sangat baik, Kiran mulai menelusuri koridor-koridor mal, melewati berbagai macam toko untuk menyusul teman masa kecilnya tersebut, yang sedang berada di sebuah toko buku.

Tapi mendadak langkahnya terhenti, ketika tanpa sengaja matanya menangkap sebuah benda yang sedang dipajang di sebuah kaca etalase toko perhiasan. Dia merasa sepertinya benda itu sudah tidak asing lagi baginya. Untuk sejenak, Kiran berdiri di depan kaca etalase tersebut, memandangi sebuah liontin yang terbuat dari batu safir biru yang sangat indah. Bentuknya tepat seperti yang pernah diingatnya dahulu. Tiba-tiba ada kilasan ingatan melintas di otaknya. Merasa seperti baru saja tersengat aliran listrik, tubuhnya menegang kaku. Liontin itu pernah dikenakan olehnya dahulu, tapi entah bagaimana dia menghilangkannya. Tapi itu bukan salahnya, dia yakin sekali kalau itu bukan salahnya! Mendadak rasa panik dan cemas menjalar di sekujur tubuhnya. Dia berusaha untuk terus
menggali ingatan di dalam otaknya ini.

Dia pun melihat wajah seorang anak laki-laki yang sedang tersenyum dan menatap dirinya dengan penuh kasih. “Itu wajah Calvin,” gumamnya merasa yakin sekali. Calvin tidak terlalu berubah baik ketika kecil maupun sekarang, masih memiliki rambut hitam yang lebat, mata yang sipit namun selalu memancarkan kehangatan dan senyum dengan lesung pipit di pipi kanannya.

Di dalam ingatannya, Calvin kecil sedang memberikan sebuah kotak beledu berwarna biru kepadanya. Di dalam kotak itu terdapat kalung emas putih dengan liontin batu safir. Jadi Calvin yang memberikan padanya. Tapi kenapa sekarang dia tidak memilikinya? Mengingat hal itu, Kiran berhasil menggerakkan kembali tubuhnya untuk mencari pemuda itu. Di dalam otaknya penuh dengan tanda tanya. Kenapa baru sekarang ingatan itu muncul di dalam otaknya? Dan kenapa dia bisa melupakannya? Dengan sedikit tergesa-gesa, Kiran melangkah cepat merasa tidak sabar untuk segera mencari Calvin dan menceritakan semuanya.

Tapi langkahnya langsung terhenti tepat di depan toko buku tersebut. Dia melihat melalui dinding kaca, sesuatu yang membuat amarah dan dendam yang tadinya sudah terkubur, meluap muncul ke atas permukaan kembali.

Calvin memang ada di dalam sana, tapi dia tidak sendirian. Dia sedang berbincang-bincang bersama seorang wanita dan seorang anak kecil. Alisnya pun berkerut dalam, dia bisa mengenali wajah wanita itu dalam waktu hitungan detik. Tidak perlu waktu lama baginya untuk mengingat nama wanita itu, Echi, teman masa SMA yang sangat dia benci. Karena wanita itulah dia kehilangan Calvin tujuh tahun yang lalu.

Kiran membalikkan tubuhnya, mengurungkan niatnya untuk menemui Calvin. Amarah dan dendam yang saat ini menguasai dirinya, membuatnya sama sekali melupakan berita bahagia tentang ingatan yang seharusnya mungkin bisa menyatukan mereka berdua kembali saat itu juga.

***

1. Masa Lalu yang Datang Kembali


Matanya nyalang memandang pintu tersebut. Sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati terbaik yang dipernis berwarna hitam dan selalu terlihat mengkilap. Sebuah pintu, yang dikatakan oleh banyak orang, menawarkan kesenangan dan kenikmatan duniawi, bisa membuat waktu berlalu dengan sangat cepat, tapi juga bisa membuat waktu seolah-olah tidak bergerak, berharap sang malam tidak cepat berakhir. Ini adalah tempat ketiga yang sudah dikunjunginya malam ini, dan entah tempat keberapa
dalam lima hari terakhir ini.

Tiba-tiba badannya bertabrakan dengan sepasang muda-mudi yang juga hendak masuk. Dia terjatuh. Kakinya tidak kuat untuk menahan beban tubuhnya sendiri, padahal dalam lima hari terakhir ini justru sudah berkurang sebanyak tiga kilogram karena jarangnya dia menyentuh makanan. Dia pun menggeram kesakitan. Pandangannya berkunang-kunang. Digelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mengusir rasa pusing yang dideritanya. Perutnya sangat mual. Dia tidak ingat apa saja yang sudah diminumnya di tempat sebelumnya.

Sejenak pasangan muda-mudi itu menoleh kepadanya, dan meringis begitu melihat penampilan orang yang baru saja mereka tubruk. Rambut yang acak-acakan, kemeja kotak-kotak dan celana jeans yang sudah tidak jelas warnanya karena beberapa noda di sana-sini. Mereka pun langsung ngeloyor pergi tanpa ada niat sedikit pun untuk menolong. Kiran tertawa miris. Tak ada seorang pun yang peduli padanya. Bahkan kalau dia mati di tempat ini, tidak akan ada orang yang sungguh-sungguh peduli padanya. Dia hanya akan menjadi Headline News di beberapa media cetak dan televisi. Atau bahkan
tidak dijadikan berita sama sekali, karena hanyalah seorang warga biasa yang tidak penting dan tidak terkenal.

***

MASIH terngiang-ngiang dalam ingatannya kejadian sebulan yang lalu di dalam taman, dekat dengan tempat kos yang disewanya. Justin, cowok yang dikenalnya di sebuah kafe dan telah menjadi kekasihnya selama dua bulan terakhir, terlihat sedang bermesraan dengan Corry, teman satu kos yang dia percaya selama setahun ini. Andai saja dia tidak mengetahui alasan di balik kenapa mereka berdua mengkhianatinya, mungkin Kiran tidak akan begitu kecewa dan marah seperti sekarang ini.

“Kiran, kamu memang cewek yang baik dan asyik untuk diajak jalan, tapi kamu terlalu pelit. Masa aku minta cium, kamu nggak ngasih. Padahal kita sudah dua bulan berpacaran.” Alasan Justin saat itu.

Corry sudah kembali ke tempat kos atas permintaan Kiran, dia merasa kalau masalah ini hanya perlu dibicarakan antara dirinya dan Justin. Walaupun dia tahu pasti kalau Corry memiliki andil yang cukup besar untuk merebut kekasihnya ini. Setelah setahun berteman, Kiran cukup mengenal Corry yang senang sekali bergonta-ganti pacar dan umumnya selalu tergoda setiap kali melihat cowok yang membawa mobil mewah, royal, dan penampilan yang selalu wangi.

“Jadi, Corry hanya pelampiasan kamu aja?” tanya Kiran masih berusaha menahan amarahnya.

“Ya, maksudku tidak! Kamu memang menarik, tapi kamu itu... seringkali bertingkah aneh. Di satu waktu kamu terlihat sangat bersemangat dan optimis, tapi di waktu lain, kamu bisa menangis
berjam-jam hanya karena masalah sepele seperti saat kamu pulang kehujanan, dan kunci kos ketinggalan di mobil aku. Padahal kamu tinggal menelepon aku balik, tapi kamu malah nangis berjam-jam nggak jelas. Aku capek meladeni drama nggak jelas seperti itu. Terlalu aneh!” jawab Justin mengeluarkan semua isi hatinya.

Kepalan tangan Kiran mengeras, dia hanya menundukkan wajahnya untuk meredam semua emosi yang mungkin saja meledak saat itu juga.

“Jadi dengan kata lain, sebenarnya sudah sejak lama kamu ingin agar hubungan kita putus, tapi kamu nggak memiliki keberanian untuk mengatakannya? Dasar banci!” seringai Kiran setelah akhirnya dia bisa menguasai dirinya kembali.

“Sialan, jangan bilang—”

Tapi ucapan Justin langsung dipotong oleh Kiran, “Sudahlah, aku sudah ngerti! Kamu pikir kamu seberharga itu sampai aku akan kesulitan untuk menerima semua ini? Bangun dan mengacalah!” Dan Kiran pun melangkah pergi, meninggalkan Justin sendirian di dalam taman.

Justin tidak bisa menerima penghinaan yang dikatakan oleh Kiran, dia pun langsung mencegah Kiran pergi dan menunjuk-nunjuk di depan hidungnya.

“Cewek sialan kurang ajar! Eh, asal kamu tahu ya, sebenernya kamu tuh bukan tipeku! Dari awal sebenarnya aku memang sudah mengincar Corry, tapi cewek itu selalu saja mengeluhkan sifat kamu yang selalu pemurung dan tidak mau mencari pacar. Aku pikir kasihan sekali, padahal kamu manis. Tapi sekarang aku paham, dengan sifat aneh kamu itu, memang nggak akan ada cowok yang tahan berhubungan sama kamu! Mungkin memang seharusnya kamu sendirian aja!” teriak Justin di depan wajah Kiran sambil menunjuk-nunjuk wajahnya. Setelah puas memaki, cowok itu langsung mendorong tubuh Kiran sampai jatuh dan pergi meninggalkannya.

Jadilah Kiran seorang diri yang sedang terduduk di atas aspal jalan dalam keadaan yang sangat terluka harga dirinya. Tapi dia tidak bisa membiarkan ada seorang pun yang menginjak-injak harga dirinya. Cowok itu harus dibalas!

***

SEPERTI kebanyakan pasangan pada umumnya, hari Sabtu malam merupakan saat yang paling dinanti-nantikan. Kebetulan malam ini tidak ada penerbangan yang harus dihadiri oleh Corry yang berprofesi sebagai pramugari. Oleh sebab itu, sejak sore dia sudah sibuk menyiapkan dirinya untuk kencan malam ini dengan Justin.

Sudah sebulan lebih hubungannya dengan Justin berjalan. Dia pikir setelah perselingkuhannya dengan Justin diketahui oleh Kiran, perempuan itu akan marah dan membenci dirinya. Tapi ternyata, reaksi Kiran dingin-dingin saja dan dia masih bersikap sangat baik pada dirinya. Bahkan Kiran bersedia memberi saran pakaian apa yang sebaiknya dia kenakan. Tepat pukul tujuh malam, mobil Justin sudah tiba. Kiran menyambut Justin dan membukakan pintu agar Justin bisa menunggu di dalam karena teman-teman kos yang lain sudah keluar semua sejak siang tadi.

Selain Corry yang terheran-heran dengan sikap dingin Kiran, Justin juga sangat penasaran. Padahal dia berharap kalau perempuan ini akan menangis tersedu-sedu dan memohon padanya untuk balikan lagi. Tapi perempuan ini malah diam saja dan sepertinya semakin lama Kiran terlihat lebih cantik dari sebelumnya.

Justin memperhatikan Kiran yang sedang duduk menonton TV tak jauh dari dirinya. Perempuan itu baru saja potong rambut, sedikit lebih pendek dari yang diingatnya. Biasanya rambutnya selalu diikat kuncir kuda, tapi malam ini Kiran membiarkannya tergerai di belakang punggungnya dengan sedikit ikal di bagian bawahnya. Biasanya perempuan ini selalu memakai kemeja, tapi kali ini dia memakai blus sifon lengan pendek yang sedikit transparan warna hitam sehingga tank-top di baliknya terlihat dengan jelas. Tiga kancing bagian atasnya tidak dikancing sehingga kalung perak dan belahan payudaranya seolah mengintip memancing para lelaki untuk curi-curi pandang mencari tahu apa yang ada di baliknya. Kaki Kiran termasuk bagus dan jenjang dibalut oleh celana kulit warna hitam yang sangat pas di kakinya.

Dan sepertinya kali ini dia berdandan, pipinya terlihat merona berwarna pink dan bibirnya teroles lipgloss. Beberapa kali Justin berusaha mencuri pandang ke arah Kiran.

“Kamu nggak pergi ke mana-mana?” tanya Justin akhirnya tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.

Kiran menoleh dan tersenyum tipis, “Oh, sebentar lagi aku keluar kok!”

Entah kenapa mendengar jawaban Kiran membuat Justin sedikit cemburu, “Oh, kau juga sedang menunggu seseorang?”

Tapi bukannya jawaban yang dia dapatkan, Kiran hanya tersenyum tipis memandang matanya penuh rahasia. Nyaris saja Justin berteriak saat itu juga untuk memaksa Kiran mengatakan semuanya.

“Pantas saja kau kelihatan cantik malam ini...,” ucap cowok itu akhirnya.

“Trims!” jawab Kiran singkat membuat Justin tambah gemas.

“Sepertinya kau tidak pernah secantik ini ketika kita masih jadian,” ucap Justin sedikit menyindir.

“Oh, maaf kalau begitu.” Lagi-lagi Kiran hanya menjawab sekenanya.

Justin menggerutu pelan, ingin sekali dia menubruk tubuh Kiran saat itu juga dan memaksanya untuk mengatakan semuanya kalau saja Corry tidak segera keluar dari dalam kamar. Padahal Corry sudah memakai lace dress warna pink pastel yang mengekspos hampir seluruh kulitnya yang putih mulus. Kakinya yang jenjang pun terlihat begitu menggoda. Rambut bobnya tertata sempurna, bahkan make-up-nya juga tidak berlebihan, tapi justru berkesan sangat memukau. Namun entah mengapa, saat ini Justin tidak memperhatikan dan pikirannya malah selalu memikirkan sosok Kiran yang masih saja duduk santai di sofa.

“Kami berangkat duluan ya!” pamit Corry mencium kedua pipi Kiran dan melambaikan tangannya.

“Have fun!” balas Kiran.

***

SUASANA kelab sedang panas-panasnya. Hampir semua pengunjung turun ke lantai dansa untuk menikmati musik yang dimainkan oleh DJ. Corry memaksa Justin untuk berdansa. Awalnya Justin masih menikmati malam ini, sampai akhirnya matanya menangkap satu sosok yang sejak tadi sedang dipikirkan, mantan kekasihnya.

Kiran terlihat sedang bercengkerama dengan seorang pria asing berbadan besar. Terlihat genit dan begitu menantang. Sesuatu yang tidak pernah dia lihat selama mereka jadian. Karena Justin mulai berhenti bergoyang, Corry pun penasaran dan mencari tahu apa yang sedang diperhatikan oleh kekasihnya ini.

“Oh, Kiran? Aku nggak tahu kalau dia mau ke tempat ini juga. Sepertinya dia sudah mendapatkan seorang kekasih. Wow, bule, ganteng juga. Aku terlalu meremehkannya. Hei, bagaimana kalau kita menyapanya?” ajak Corry sedikit mengagetkan Justin.

Justin tidak sempat menolak karena detik berikutnya tangannya sudah ditarik oleh Corry, berjalan menuju meja yang sekarang diduduki oleh Kiran dan cowok bule itu.

“Hei, Kiran, kebetulan sekali. Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?” sapa Corry dan sesekali matanya curi-curi pandang ke arah cowok bule itu, sedang menilai.

“Oh, kamu nggak bilang kalau mau ke sini,” senyum Kiran.

“Benar juga. Lalu, kamu datang sama siapa?” tanya Corry tanpa basa-basi.

“Oh, kenalkan, ini Brendan...,” jawab Kiran dengan kalem.

Corry pun menyalami Brendan. Tapi Justin masih saja diam.

“Oh, kenapa kalian nggak gabung saja?” tanya Kiran.

Corry pun menyambut ide itu, tapi Justin langsung menolaknya. Tentu saja dia tidak akan mau satu meja dengan mantan pacar yang ternyata sudah memiliki pacar sama cepatnya dengan dirinya. Dan akhirnya sisa malam itu berjalan dengan tidak menyenangkan lagi. Karena Justin hanya duduk di sofa sambil terus menenggak minumannya, membuat Corry kesal.

Akhirnya Corry memutuskan ke kamar mandi untuk buang air kecil dan sedikit merapikan lisptiknya. Tidak disangka-sangka, begitu dia keluar dari toilet dia berpapasan dengan Brendan. Dan entah bagaimana, mereka jadi asyik berbincang-bincang. Bahkan Corry sedikit bersikap genit hanya ingin mengetahui apakah daya tariknya masih bisa menarik perhatian cowok lain mengingat pacarnya malam ini malah tidak mengacuhkan dirinya. Merasa Corry sudah pergi terlalu lama, Justin akhirnya sedikit menyesal dan mulai menyusul. Tapi, karena sudah terlalu banyak minum malam ini, emosinya jadi cepat naik begitu melihat Corry sedang terlihat asyik berbincang-bincang dengan Brendan, membuatnya merasa sangat terintimidasi. Dia menghampiri Corry dan Brendan dengan tergesa-gesa. Tanpa pikir panjang, kepalan tangannya langsung dilayangkan ke wajah cowok bule itu.

“Justin, apa yang kamu lakukan?!” teriak Corry kaget melihatnya.

“Dasar wanita jalang! Baru sebentar kamu sudah bersikap genit dengan cowok lain? Dasar murahan!” teriak Justin pada Corry, tangannya meremas lengan atas Corry dengan kencang, membuat Corry kesakitan.

“Lepasin aku, Justin!” berontak Corry walaupun tentu saja hal yang sia-sia.

Tapi belum Justin melanjutkan ucapannya, tiba-tiba Brendan sudah bangkit dan balas memukul Justin dengan sama kerasnya. Mereka pun langsung terlibat perkelahian. Kelab ini merupakan kelab yang sering dikunjungi oleh Justin, sehingga beberapa orang temannya ada yang datang juga.

Melihat Justin dipukul oleh seseorang, yang lain pun langsung menghampiri untuk membela Justin. Salah seorang di antara mereka bermaksud melerai, tapi ternyata pukulan Brendan malah mengenai wajahnya. Tidak menerimanya, dia pun balas memukul Brendan. Akibatnya Brendan dikeroyok oleh dua orang.

Masalah jadi bertambah besar karena Brendan tidak datang sendirian ke kelab ini. Dia datang bersama tiga orang teman bule lainnya. Melihat teman mereka dikeroyok, mereka tidak bisa menerima. Dan akhirnya mereka saling baku hantam dengan sengit. Terdengar teriakan beberapa orang pengunjung. Perkelahian itu sulit untuk dilerai. Sampai semua personil keamanan harus dikerahkan dan mereka dikeluarkan dari dalam kelab dengan paksa dan sedikit memalukan. Bahkan nama mereka semua masuk daftar blacklist tidak boleh datang berkunjung lagi selama setahun.

Saat itulah, Kiran tiba-tiba mendekat ke Corry yang juga harus ikut keluar, “Apa yang terjadi? Kenapa mereka bertengkar?”

Corry sedikit terkejut, tapi merasa lega juga karena masih ada orang yang dikenalnya, “Entahlah, Justin jadi gelap mata. Tiba-tiba dia datang menghampiri Brendan dan memukulinya. Ternyata mereka berdua tidak datang sendirian. Masing-masing memiliki teman, jadilah mereka saling baku hantam membela teman masing-masing,” jelas Corry dengan mata dan pipi yang hitam karena air mata menghancurkan eyeliner-nya.

“Apa?” ucap Kiran terlihat sangat terkejut.

Justin terlihat masih sangat kesakitan dan sedikit tidak sadarkan diri, dia hanya duduk di atas jalanan dengan kepala tertunduk. Salah satu temannya terlihat sedang memeriksa keadaannya. Sementara Brendan dan teman-temannya yang merasa kesal karena malamnya telah hancur memutuskan untuk pergi saja dari sana, tidak mau memperpanjang masalah. Tapi entah mengapa, sebelumnya Brendan seperti memandang ke arah Corry.

Corry melihat kepergian Brendan dan mencoba memberi tahu Kiran, “Cowokmu mau pergi tuh!”

“Oh, biarkan saja!” senyum Kiran.

“Lho, kenapa? Kamu nggak mau menghiburnya?” tanya Corry terheran-heran.

“Untuk apa? Kami baru kenal malam ini kok!” jawab Kiran santai.

Keheranan Corry semakin bertambah besar, “Dia bukan pacar barumu?”

Kiran menggeleng. “Nope, aku nggak bilang gitu 'kan tadi?” seringainya.

Spontan Corry langsung menutup mulutnya. Ternyata tadi salah paham, kalau memang seperti itu, Corry merasa kalau dia jadi memiliki kesempatan untuk mendekati Brendan. Setelah apa yang dikatakan Justin padanya malam ini, Corry tidak lagi respek pada pemuda itu.

“Corry, kamu nggak apa-apa?” tanya Justin ketika dia sudah merasa baikan dan berdiri menghampiri, diikuti oleh salah satu teman di belakangnya.

“Justin, kamu tahu, setelah apa yang kamu ucapkan padaku malam ini, aku meminta putus!” tegas Corry dan dia langsung beranjak meninggalkan Justin yang terbengong-bengong.

Corry ternyata berlari ke arah Brendan yang sedang menunggunya di depan mobil sport miliknya. Corry pun diterima dengan senang hati oleh Brendan.

“A-apa yang terjadi?” tanya Justin terheran-heran.

“Ayuni?” tiba-tiba teman Justin yang sedari tadi mengikuti menegur Kiran yang hanya berdiri diam.

Kiran pun menoleh dan matanya langsung terbelalak lebar melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. “Armand?” tanya Kiran.

Armand seperti sedang memikirkan sesuatu, tapi kemudian dia menggelengkan kepalanya, “Jadi ternyata ini ulah kamu juga? Luar biasa!” ejek Armand.

Kali ini Justin yang masih sedikit pusing dan kesakitan menoleh ke arah sahabat dan mantan kekasihnya.

“Apa maksudmu?” tanya Kiran dengan wajah yang dingin.

“Nggak usah pura-pura deh! Aku udah tahu semua kartu kamu. Dari kuliah kamu nggak berubah juga ya! Sakit jiwa tahu nggak!” ucap Armand dengan penuh emosi.

“Armand, kamu kenal Kiran?” tanya Justin.

“Kiran? Oh, jadi sekarang kamu memakai nama belakangmu. Justin, jadi dia itu mantan pacar yang kamu ceritain itu? Kamu tahu, dia itu merupakan cewek yang sama, yang selalu aku ceritain waktu kuliah. Aku memanggilnya Ayuni dan kamu memanggilnya Kiran, karena nama lengkapnya adalah Ayuningsih Kirana,” cerita Armand.

Saat itu juga, wajah Justin langsung menegang. Dia sama sekali tidak menyangka kalau cewek yang diceritakan oleh sahabatnya Armand selama ini adalah cewek yang sama.

“Kamu nggak berubah juga ya, Ay! Aku pikir setelah kamu berhasil membalas dendam sampai memasukkan Rianti dan Bram ke rumah sakit, kamu sudah puas karena kamu nggak nelepon-nelepon
aku untuk memeras aku lagi. Memaksa aku untuk mendukung rencana kamu dan kalau aku menolak, mengancam akan menyebarkan video yang berisi bukti akulah yang membakar mobil Bram. Kalau saja aku nggak kepancing sama ucapan kamu, kalau saja saat itu aku sudah cukup dewasa untuk menyadari kebohonganmu,” ungkap Armand.

“Kamu memang hebat dan serba bisa, tapi kamu itu sakit jiwa. Sebaiknya kamu mulai berobat ke psikiater, karena sepertinya otakmu sangat terganggu. Kamu nggak pernah berpikir panjang untuk melakukan sesuatu yang mungkin bisa membahayakan nyawa orang lain selama keinginan dan rencanamu berjalan lancar. Kamu tahu, kalau kamu merupakan cewek paling kesepian dan tidak bahagia yang pernah aku kenal? Kalau kamu masih seperti ini, sampai kapan pun kamu pasti akan selalu sendirian, kesepian dan tidak bahagia,” lanjut Armand.

“Justin, kita cabut aja dari sini. Males gue ketemu sama cewek ini lagi!” ajak Armand langsung merangkul bahu Justin yang masih terlihat kesakitan.

Padahal Kiran sudah berusaha untuk melupakan masa lalunya itu. Tapi ternyata masa lalu kembali lagi kepadanya. Dan sekarang semakin mengoyak dirinya. Dia tidak bisa menerima dibilang sakit jiwa. Tapi dulu ketika kecil, Ibu seringkali membawanya ke psikiater. Ada satu trauma masa kecil yang entah kenapa, dia lupakan. Tapi justru trauma itu yang sampai sekarang selalu menghantui dirinya.

***

Komentar

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2