Side Story of Calibri Serena part 2

781

Hai, sebelumnya saya mau minta maaf kalau kelanjutan kisah Calibri lama banget di uploadnya. Sebelumnya kalau ingin membaca part satu, silahkan klik di sini ya. Atau membaca review novel Frankfurt bisa berkunjung ke siniblog rizky mirgawati, Peek The Book, Ach's Book Forum, dan Luckty si Pustakawin
Baiklah, tanpa menunda-nunda, selamat membaca ^^!
*********

Sumber : https://wakidyuniarto.files.wordpress.com/2015/10/img_2021.jpg


Suasana di kantin ramai seperti biasanya. Dan biasanya juga Calibri tidak suka membeli makanan di kantin. Namun kali ini dia terlalu lapar untuk bisa menahan sampai dengan pulang nanti. Dia memilih kantin paling pojok dan paling sepi, walaupun tentu saja itu tidak mungkin. Dari ujung pintu masuk sampai dengan ujung yang satunya lagi, semua stan makanan penuh dengan murid-murid yang saling berebutan memesan makanan ataupun minuman. Walaupun sudah diajarkan budaya antri di dalam kelas, tetap saja kalau sudah masalah perut tidak bisa kompromi.

“Bu, pesan lontong sayurnya satu.” Ucap Calibri dengan suara pelan dan agak takut-takut, mirip seorang mata-mata yang berbisik-bisik ketika sedang menyampaikan informasi rahasia pada rekan kerjanya. Hanya bedanya kali ini, informasi itu tidak menggugah perhatian anak manapun untuk mencuri dengar.

“Apa, Neng, ibu tidak dengar. Di sini ramai sekali. Bisa lebih keras sedikit?” teriak ibu penjaga kantin yang bertubuh montok dengan pipi tembam menggemaskan mirip bakpao karena kulitnya yang putih.

“Lontong sayur satu, Bu!” teriak Calibri akhirnya setelah mengumpulkan segenap keberanian. Namun rupanya terlalu keras, karena hampir separuh dari seluruh isi kantin bisa mendengar teriakannya.

Tingkahnya itu tentu saja langsung ditertawakan oleh semua orang. Membuat Calibri menjadi sangat malu dan kepalanya tertunduk dalam.

“Ini lontongnya, Neng! Nggak usah dipikirkan keusilan anak-anak yang lain.” Senyum ibu itu.

Calibri terpana melihat senyuman si ibu. Mengingatkannya pada senyum milik almarhumah ibunya sendiri. Mendadak dia merasa sangat merindukan ibu, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun ini.

Calibri membawa nampan pesanannya setelah membayarkan sejumlah uang pada ibu kantin. Dia tidak peduli akan duduk di mana. Pokoknya asal ada kursi kosong, dia akan duduk di sana. Dan beruntung, hanya beberapa langkah, dia sudah melihat kursi yang kosong.

Tanpa pikir panjang, dia langsung duduk di sana dan melahap sampai habis lontong sayurnya.

“Wow-wow-wow..., pelan-pelan makannya kalau tidak mau tersedak dan memuntahkan semua makananmu kembali.”

Calibri mendongak begitu mendengar ada sebuah suara yang rasanya ditujukan untuknya. Benar saja, ada wajah anak laki-laki yang sedang duduk di depannya, tersenyum geli melihat kelakuannya.

“Nih, minum dulu!” tawar anak laki-laki itu memberikan Calibri sebotol tes manis dingin.

Calibri menerima tawaran itu dan meminumnya, “Te-terima kasih...,” ucapnya dan kembali menyuap lontong sayurnya, tapi kali ini dengan lebih pelan.

Calibri menunggu, apa yang akan dikatakan lagi oleh anak laki-laki di depannya ini. Tapi tidak ada. Sampai selesai makan, anak laki-laki ini hanya diam dan asyik memperhatikannya.

“Apakah... ada yang salah dengan wajahku?” tanyanya ragu-ragu mengusap wajahnya sendiri dengan tisu.

Anak laki-laki itu kembali tertawa, “Wajahmu manis juga.”

Seumur hidup, Calibri jarang sekali bergaul dengan teman-temannya. Apalagi dengan seorang anak laki-laki yang baru pertama kali bertemu dan langsung memberinya pujian. Otomatis pujian itu membuat wajahnya langsung memerah.

Baru dia ingin mengucapkan terima kasih, salah seorang teman anak laki-laki itu memanggil dan mengajaknya bermain sepak bola di lapangan.

“Andika, woooy..., ngapain di situ? Buruan udah mau mulai nih! Nanti keburu bel!”

“Okeee!” dan tanpa permisi, anak laki-laki itu pergi meninggalkan Calibri.

Tinggalah dia sendiri sekarang - walaupun tidak benar-benar sendiri - dengan jantung yang berdebar keras. Jadi, namanya Andika....
***

Anak laki-laki itu bernama Andika Irawan. Dia merupakan anggota tim basket di sekolah, tubuhnya sangat jangkung untuk ukuran anak SMP, 175 cm. Andika populer di sekolah, tidak heran kalau hampir seluruh penghuni di sekolah ini mengenalnya.

Calibri merasa tidak sanggup untuk bersaing dengan anak perempuan lainnya, yang rata-rata jauh lebih cantik dan menarik daripada dirinya. Lagipula, dia yakin sekali kalau Andika pasti tidak menyukai dirinya. Bahkan mungkin saja anak cowok itu sudah melupakan kejadian di kantin saat itu. Mungkin baginya itu hanya kejadian sambil lalu saja.

Calibri merasa sedih, saat seperti ini, seharusnya dia bisa berbagi cerita dengan orang yang lebih tua dan bisa dipercaya olehnya. Tapi Ibu tidak ada. Ayah sibuk bekerja demi biaya sekolah dirinya. Lagipula laki-laki tidak pernah bisa diajak berbincang-bincang untuk masalah seperti ini bukan? Yang ada bukannya memberikan solusi, ayah pasti akan melarangnya macam-macam bahkan mulai mengambil langkah ekstrem dengan menyewa supir untuk mengantar jemputnya. Yah, walaupun Calibri tidak keberatan juga dengan hal itu mengingat dia harus menempuh perjalanan lumayan jauh sampai dua kali ganti angkot dan seringkali bertemu dengan orang-orang asing yang aneh dan menyeramkan. Jadi dihukum dengan diantar jemput mungkin tidak akan terlalu mengganggunya.

“Sepertinya anak baru itu akan masuk ke dalam kelas ini.” Ucap Vira, anak perempuan yang duduk di depannya.

“Aku udah lihat, anaknya cantik sekali! Kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi, rambutnya lurus.” Sambung Tommy yang langsung disoraki oleh anak lainnya di dalam kelas.

Belum juga reda obrolan mereka tentang anak baru itu, Pak Imam, guru Fisika, masuk ke dalam kelas dan anak-anak pun segera tenang. Ketua kelas memimpin mengucapkan salam.

“Jadi..., karena kalian sudah mengetahuinya, bapak akan segera menyuruhnya untuk masuk saja.” Senyum Pak Imam bahkan tanpa kata pengantar sedikit pun.

“Setujuuuu...!” teriak anak-anak dengan rusuh.

Maka masuklah seorang dara manis dengan ciri-ciri yang sudah dijabarkan oleh Tommy tadi. Namun pada kenyataannya, anak perempuan ini memang benar-benar cantik dan ayu. Entah mengapa, sepertinya siapa pun tidak akan pernah bosan memandangi wajahnya.

“Panggil saja Indah.” Begitu perkenalan anak perempuan itu yang hanya bisa ditangkap oleh telinga Calibri yang separuh jiwanya entah sedang terbang kemana.

Akhir-akhir ini dia memang mendapati sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Dia memang tahu kalau dia sering membayangkan sesuatu, namun akhir-akhir ini agak terlalu mengganggunya. Hampir setiap wajah yang dilihat olehnya, entah mengapa tiba-tiba dia membayangkan sebuah kejadian tentang orang itu. Kadang memang hanya biasa saja, namun terkadang mendekati hal-hal yang berbahaya.

“Baiklah, Indah, karena di kelas ini hanya ada satu tempat duduk yang masih kosong, kau bisa duduk di sebelah Calibri. Calibri angkat tanganmu.” Ucap Pak Imam tersenyum pada Indah, “Tenang saja, Calibri murid yang sangat pintar. Kalau ada pelajaran yang tidak kau mengerti, tanyakan saja padanya.”

Indah tersenyum dan mengangguk. Kemudian dia berjalan menuju kursinya yang terletak di baris paling depan pojok kanan kelas. Indah langsung duduk di samping Calibri dan mengulurkan tangannya. Sementara itu Pak Imam memulai pelajarannya.

“Senang berkenalan denganmu, Calibri.” Senyum Indah.

Calibri terpana menerima uluran tangan itu, dan dengan pelan dia membalasnya.

“Terima kasih. Senang berkenalan denganmu juga.”
***

Memang sesuai dengan nama dan wajahnya, Indah benar-benar cantik dan baik hati. Dia tidak sombong dan tidak merasa aneh ketika melihat sikap Calibri yang lebih senang menyendiri. Justru sebaliknya, Indah seringkali mengajaknya jalan bareng. Entah apakah itu untuk pergi ke kantin, ke ruang guru, ke perpustakaan, ataupun sekedar iseng jalan-jalan di koridor kelas. Dengan kata lain, baru kali ini Calibri merasakan yang namanya memiliki seorang teman ketika sedang melakukan satu aktivitas, dan rasanya menyenangkan juga.

Saat ini Calibri dan Indah baru saja selesai meminjam buku di perpustakaan dan akan kembali ke dalam kelas. Mereka berbincang-bincang seperti biasa, seperti sepasang sahabat karib yang sudah saling kenal sejak lama. Tapi memang rasanya seperti itu, walaupun baru berlangsung lebih dari satu bulan umur pertemanan mereka, Calibri merasa kalau dia sudah sangat mengenal Indah dengan baik.

Dan mengetahui kehidupan Indah yang ternyata tidak mudah, sebagai seorang anak yatim-piatu yang dibiayai sekolah oleh bos tempatnya bekerja seusai sekolah setiap harinya, membuat Calibri merasa sangat beruntung karena dia masih memiliki ayah yang bisa memberinya kasih sayang yang tulus dan juga memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mulai dari rumah yang nyaman, kamar yang nyaman, fasilitas yang lengkap, makan yang cukup, dan sekolah yang bagus.

“Hari ini buat tugas kelompok biologi di rumah aku aja.” Ajak Calibri. Setelah sekian lama berteman, baru kali ini dia berani mengajak Indah main ke rumahnya. Padahal Indah sejak awal pertemanan mereka tidak pernah segan-segan mengajaknya untuk mampir ke panti asuhan tempatnya hidup selama ini.

“Boleh. Tapi aku nelepon bos aku dulu ya kalau aku baru bisa menjaga kios setelah maghrib.” Senyum Indah.

“Oh iya, kamu harus bekerja ya. Ya sudah, kita belajar di tempat kerja kamu aja, biar tidak ada masalah dengan bosmu.” Jawab Calibri. Dia tidak berani mengambil resiko Indah terkena masalah dengan bosnya.

Dari cerita Indah, bosnya mungkin tidak masalah. Tapi kedua anaknya lah yang terkadang menjadi masalah. Jadi Calibri pikir, daripada dia memberikan kesempatan kepada kedua anak itu untuk semakin menyusahkan Indah, lebih baik dia yang mengalah, walaupun dia harus pulang sore sekalipun.
***

“Calibri, kita mampir ke sini dulu ya.” Ajak Indah ketika mereka berdua sedang berjalan di pertokoan menuju kios tempat Indah biasa jaga sehabis pulang sekolah.

“Restoran cepat saji? Kau belum makan?” tanya Calibri mengikuti Indah masuk ke dalamnya.

“Ya, aku sengaja tidak jajan di kantin sekolah agar bisa mengumpulkan uang dan makan di sini. Aku hanya penasaran dengan rasanya saja.” Senyum Indah merasa aneh namun geli dengan ucapannya sendiri.

“Oh, baru kali ini kau makan burger di sini?” tanya Calibri merasa tidak percaya dengan pendengarannya.

“Ya,” senyum Indah, “Apakah kau mau? Kelihatannya uangku cukup untuk kita berdua.” Tawarnya.

“Ah, jangan, aku punya uang jajan yang cukup dari ayahku. Malah selalu berlebih. Ini uangku. Pesankan saja yang kamu mau.” Ucap Calibri memberikan selembar lima puluh ribuan pada Indah sementara dia langsung duduk di salah satu pojokan dan mengeluarkan telepon genggamnya. Saat itu telepon genggam masih merupakan barang ekslusif.

Indah tersenyum menerima uang Calibri dan langsung berjalan menuju konter makanan.

Calibri mendapatkan pesan dari ayah, ayah akan pulang hari ini dari Jerman. Beliau memang bekerja di sana dan hanya pulang paling cepat tiga bulan sekali. Calibri bisa saja ikut, namun dia tipe yang tidak cepat beradaptasi, sehingga dia memutuskan untuk sendirian saja tinggal di rumah mereka.

Sambil membalas pesan dari ayah, Calibri iseng melihat sosok Indah yang saat ini sedang memesan makanan dan dilayani oleh seorang laki-laki yang memakai seragam restoran ini.

Tiba-tiba Calibri melihat sesuatu yang aneh, tapi dia tidak paham dengan apa yang dilihatnya itu. Dia seperti melihat sulur-sulur berwarna keperakan mengalir antara dirinya, laki-laki itu, dan Indah. Ah, mungkin dia hanya menghayal lagi. Lagipula, sepertinya wajah pemuda itu sudah tidak asing bagi dirinya. Namun, sebelum bayangan itu muncul, Calibri langsung mengalihkan pandangannya. 

Dia semakin tidak memahami dirinya. Kalau tidak salah, dulu dia memang pernah seperti ini, ketika kecil, sebelum Mama meninggal. Namun, setelah Mama memberinya banyak terapi, dia tidak pernah mengalaminya lagi. Entah dia harus bereaksi bagaimana, namun dia merasa sedikit takut dengan bayang-bayang yang semakin sering menyerang kepalanya sepeninggal Mama. Untung saja frekuensinya masih sangat jarang.
***

Beberapa hari ini Vanda, Stefany dan Deasy ramah sekali pada Indah. Yah, memang tidak hanya mereka bertiga yang ramah pada Indah. Hampir seluruh isi sekolah ini sangat baik pada Indah yang begitu sopan, ramah dan menyenangkan. Seharusnya Calibri tidak merasa aneh, tapi ada sedikit perasaan aneh dan tidak nyaman di dalam hatinya, semacam perasaan tidak rela kalau Indah ternyata dekat dengan orang lain dan bukan dirinya saja.

Berkali-kali Calibri mengutuk dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak berpikiran picik seperti ini. Indah memiliki hak untuk mempunyai banyak teman. Jadi terserah Indah untuk berteman dengan siapa. Tapi tetap saja, Calibri merasa tidak rela.

“Indah, kita makan di kantin yuk.” Ajak Calibri untuk pertama kalinya dia memberanikan diri mengajak jajan Indah ke kantin. Biasanya memang selalu Indah yang mengajaknya duluan.

“Oh, Cally, boleh. Yuk, kita ramai-ramai ke kantin.” Senyum Indah dengan polos dan langsung menggandeng tangan Calibri.

“Ramai-ramai?” tanya Calibri mengerutkan alisnya.

“Ya, Vanda, Stefany dan Deasy juga mengajakku makan siang bareng mereka. Tapi kupikir mereka juga tidak akan merasa keberatan kalau aku membawamu ikut serta.” Ucap Indah masih dengan senyum polosnya.

Calibri mendadak menjadi muram, tapi dia diam saja dan mengikuti kemana pun dirinya dibawa.

“Vanda, aku ajak Calibri ya untuk makan bareng kita.” Senyum Indah.

Indah memang tidak pernah mengetahui kalau selama ini Vanda selalu iseng pada Calibri. Tentu saja melihat obyek yang kerap kali diganggunya tiba-tiba muncul di depannya, membuat Vanda kaget sekaligus merasa “sepertinya ada yang bisa aku rencanakan lagi kali ini.”

“Tentu saja!” senyum Vanda agak dibuat-buat. “Stefany, Deasy, yuk kita ke kantin sekarang.” Ajak Vanda kepada kedua sahabatnya.

Dan dengan dipimpin olehnya, mereka berlima itu pun berjalan menuju kantin beriringan. Tentu saja, keberadaan mereka berlima membuat banyak anak-anak yang lain merasa heran. Tiga orang cewek paling populer di sekolah berjalan bersama satu orang anak baru yang cantik, cerdas, sopan, ramah dan sangat menyenangkan, ditambah satu orang anak perempuan yang terkenal aneh dan super pendiam namun juga sangat pintar. Kombinasi yang sangat aneh. Aneh pada satu orang saja tepatnya.

Melihat mereka berjalan beriringan, terlihat ada sesuatu yang salah dan sangat mengganggu mata yang melihatnya. Itulah keberadaan Calibri di sana. Mereka berempat terlihat begitu bersinar dan menarik perhatian, seolah-olah menenggelamkan satu sosok anak perempuan yang juga berjalan bersama mereka.

Acara makan siang di kantin ternyata berjalan dengan lancar. Vanda ataupun kedua sahabatnya tidak bertingkah sama sekali. Mereka memesan makanan dan makan seperti biasanya, mengobrol seperti biasanya. Bahkan terkadang Vanda menanyakan tentang pelajaran yang tidak dipahaminya pada Calibri. Sampai akhirnya Vanda berhasil membuat Calibri berjanji untuk mengajarinya membuat tugas matematika setelah sekolah usai. Tentu saja Stefany dan Deasy ikut serta. Sedangkan karena harus bekerja dan sudah mengerjakan tugasnya, Indah akan segera pulang.

Akhirnya di sinilah Calibri berada sekarang. Bersama ketiga anak perempuan paling populer dan keren di sekolah, mengerjakan tugas matematika di perpustakaan sekolah.

“Membosankan. Walaupun aku sudah berusaha sekuat apapun, tetap saja aku tidak bisa memahami urusan vektor ini. Bagaimana kalau kita pindah tempat aja, di sini tidak asyik. Tidak bisa membawa makanan atau minuman.” Gerutu Vanda.

Calibri mengangkat wajahnya dari atas buku tugas matematika, “Apakah kau mau mengerjakan tugas di rumahku?”

Vanda mengangkat sebelah alisnya, “Tentu saja tidak. Itu akan sama membosankannya.” Cemooh Vanda.

“Rumahku menyenangkan. Setidaknya menurutku.” Gumam Calibri merasa sedikit tersinggung karena rumahnya dibilang membosankan. Vanda bahkan belum pernah melihat rumahnya, jahat sekali mengatakan hal yang keji seperti itu.

“Sudahlah. Kita akan mengerjakan tugas ini di rumahku!” ajak Vanda sambil mengedipkan sebelah matanya pada Stefany dan Deasy.

“Yeah, baiklah, kedengarannya menyenangkan. Setidaknya setelah mengerjakan tugas, aku bisa bersantai di rumahmu sambil berenang dan minum jus jeruk.” Ucap Stefany mulai membereskan buku dan alat-alat tulisnya.

“Yah, aku juga bisa sedikit tidur-tiduran dan mendengarkan musik. Perpustakaan ini membosankan sekali. Aku tidak berkutik sama sekali di sini.” Tambah Deasy.

Maka, satu jam kemudian, mereka berempat sudah sampai di dalam rumah Vanda yang sangat mewah dan luas. Namun kosong tentu saja, hanya ada pembantu dan tukang kebun saja.

“Orang tuamu masih di Perancis?” tanya Stefany iseng sambil mencomot sebungkus coklat yang ada di dalam toples.

“Ya, entah kapan pulangnya. Kenapa? Titip oleh-oleh? Tanpa kau minta pun Mama pasti sudah membawanya. Nenek centil itu selalu lupa kalau urusan bagi rapor putrinya, tapi tidak pernah lupa kalau untuk urusan shopping.” Seringai Vanda tidak bisa dipastikan apa sebenarnya yang dia rasakan, apakah senang ataukah sedih.

Maka mereka berempat pun termasuk Calibri masuk ke dalam kamar Vanda yang berukuran 10x8 meter. Kamar yang terlampau besar hanya untuk seorang anak perempuan yang masih beranjak remaja. Namun apa boleh buat kalau sang anak merupakan anak bungsu yang selalu ditinggal pergi oleh kedua orang-tuanya, maka apa pun yang diinginkan oleh sang anak sebisa mungkin dimasukkan ke dalam kamarnya. Sehingga tidak aneh kalau di kamar Vanda memiliki ruangan pakaian sendiri, kamar mandi pribadi, grand piano, televisi ukuran 52 inch lengkap dengan permainannya, bahkan meja besar seperti untuk rapat pun ada di dalam sana.

“Wow, kamarmu luar biasa,” puji Calibri merasa takjub melihat kamar tersebut.

Vanda merasa senang mendengar pujian itu, namun juga tidak merasa aneh, karena semua orang yang pernah masuk ke dalam kamarnya pasti mengatakan hal yang serupa.

“Jadi apa yang akan kita lakukan pertama kali?” tanya Deasy dan tanpa minta ijin dia langsung duduk di sebuah sofa empuk berbahan kulit berwarna hitam dan langsung menyalakan televisi.

“Saranku lebih baik kita nonton DVD aja.” Jawab Stefany dan ikut duduk di sebelah Deasy.

“Terserah kalian tapi aku agak kurang enak badan, jadi sebaiknya aku istirahat dulu.” Ucap Vanda, setelah meletakkan tas di atas meja, dia langsung berbaring di atas ranjangnya yang berukuran besar.

“Tapi... bukankah kita kemari untuk mengerjakan tugas?” tanya Calibri tidak paham karena mendadak ketiga orang temannya beralih mengerjakan hal lainnya.

“Aku tidak sanggup, Cal, tolong buatkan dulu ya. Aku lelah sekali.” Dalih Vanda berusaha terlihat sangat lemas. “Oh, aku pusing sekali. Lebih baik aku tidur dulu.”

Maka tinggalah Calibri seorang diri dengan niat awal yang masih sama, mengerjakan tugas, karena memang dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya di dalam kamar asing yang baru diinjak untuk pertama kalinya. Tidak mungkin juga kan kalau dia langsung menyalakan komputer dan asyik sendirian tanpa minta ijin pada yang punya kamar?

Akhirnya mau tidak mau dia duduk di kursi meja besar, mengeluarkan buku tugasnya dan mulai mengerjakan tugas yang seharusnya merupakan tugas Vanda untuk mengerjakannya.
***

“Waaahh..., terima kasih banyak, Calibri, kau sudah mengerjakan tugasku.” Peluk Vanda begitu dia bangun dari tidurnya satu setengah jam kemudian.

“Ya, kami benar-benar beruntung memiliki teman sepertimu.” Tambah Deasy dengan wajah yang terlihat usil.

Sedangkan Stefany hanya cekikikan saja di depan televisi sambil menerima telepon dari pacarnya. Calibri merasa malu mendapat ucapan terima kasih dari Vanda, apalagi sampai dipeluk olehnya.

“Ti-tidak masalah, kasihan juga kamu karena sedang kurang enak badan.” Senyum Calibri.

“Mungkin kau harus sering-sering main kemari untuk mengerjakan tugas bersama kami.” Ucap Stefany begitu dia selesai menerima telepon. “Ngomong-ngomong aku harus pergi sekarang. Aku janjian sama Anthony untuk menjemputnya selepas latihan basket.” Pamit Stefany mencium pipi kedua temannya, namun melewati Calibri.

Setelah Stefany menghilang, Calibri pun bertanya pada Vanda, “Stefany punya pacar namanya Anthony anak basket?”

Vanda mengangguk dengan cuek sibuk dengan telepon genggamnya.

“Anthony itu temannya Andika?” tanya Calibri lagi.

Awalnya Vanda acuh tak acuh, namun begitu mendengar pertanyaan Calibri yang jarang sekali bertanya ataupun mengobrol dengan orang lain tentu saja menimbulkan tanda tanya dalam kepala Vanda. “Kamu tahu Andika?”

“Ng..., tentu saja, siapa yang tidak akan mengetahui kapten tim basket SMP kita?” jawab Calibri bingung dengan pertanyaan Vanda.

Vanda memandang Calibri dengan tidak percaya, kemudian dia melirik Deasy yang awalnya tidak terlalu peduli. Namun begitu melihat mata Vanda, Deasy tahu kalau dia harus ikut ambil bagian dalam skenario dadakan ini.

“Iya, sih, Andika emang ganteng banget, pinter, tajir, anak pejabat, jago basket, populer banget, banyak anak cewek yang ngejar-ngejar dia.” Ucap Deasy dengan logat centilnya.

Mendengar ucapan Deasy, Calibri menjadi sedikit murung. Walaupun dia sudah tahu kalau Andika banyak yang suka, namun tetap saja agak sulit untuk menerima berita itu secara langsung. Melihat ekspresi Calibri yang agak murung, entah kenapa membuat Vanda sedikit merasa girang.

“Mmm..., kamu suka Andika ya?” tembak Vanda langsung.

Calibri langsung kaget, “A-apa maksudmu? Kenapa berpikir kalau aku menyukai Andika?”

“Yah, karena kamu itu polos banget sehingga gampang ditebak isi hatinya.” Seringai Deasy menggigit permen lolipopnya.

Calibri menghela nafas, “Tapi jangan bilang siapa-siapa ya,”

“Tentu saja. Jadi kenapa kau tidak cerita pada kami?” senyum Vanda penuh arti.
***

“Hai!” sapa Indah mengagetkan Calibri karena tiba-tiba Indah muncul dan menepuk pundaknya.

“Hai, Indah...,” balas Calibri tersenyum tipis.

“Gimana acaranya kemarin? Asyik?” senyum Indah dan langsung duduk di kursinya sendiri.

“Yah, lumayan asyik kok!”

“Ngapain aja di sana? Lengkap banget kan kamar Vanda, mau main apa juga ada di sana.”

“Ya, aku sempat main dance-dance revolution. Lumayan menguras keringat.”

“Hahaha..., mending, waktu aku main ke rumahnya, Vanda mengajakku main basket di halaman rumahnya.”

“Kamu pernah ke rumahnya?” tanya Calibri sedikit terkejut. Ternyata hubungan pertemanan Indah dengan Vanda berkembang dengan pesat, sedangkan Indah sama sekali belum pernah bermain ke rumahnya.

“Tentu saja. Menyenangkan sekali.” Senyum Indah merasa biasa saja.
***

Ketika istirahat siang, Vanda tidak mengajak makan siang Indah seperti biasanya. Ada yang harus Vanda lakukan sehingga akhirnya hanya Indah dan Calibri saja yang pergi ke kantin. Ketika di koridor dalam perjalanan menuju kantin, mereka berpapasan dengan Andika yang kebetulan juga sedang berjalan berlawanan arah dengan mereka.

Mereka pun berpapasan, namun Calibri melihat ada sebuah keanehan yang dilakukan oleh Indah. Indah melirik Andika dengan penuh arti dan juga senyuman yang sangat manis terpampang di wajahnya. Andika pun membalasnya dengan senyuman. Namun mereka tidak saling mengobrol dan lewat begitu saja.

Calibri merasa ada sesuatu yang aneh, “Ada apa kau sama Andika?”

“Oh, kau melihatnya. Sudah kukira kalau kau mempunyai mata yang tajam. Apa kau tidak tahu kalau Andika itu suka sama kamu?” ucap Indah dengan suara yang ceria.

Mendengar ucapan Indah tentu saja membuat Calibri terheran-heran, “Apa?”

“Ya, aku baru mengetahuinya sekarang. Vanda memberikan surat padaku yang katanya dari Andika, isinya minta dikenalkan sama kamu.”

Tetap saja Calibri hanya melongo masih tidak paham dengan ucapan Indah.

“Pulang sekolah nanti, aku janjian sama Andika di gerbang sekolah. Aku akan mengenalkanmu di sana.”
***

“Andika, ini Calibri, teman sebangku aku dan juga teman paling baik dan pintar yang pernah aku miliki.” Senyum Indah memperkenalkan Calibri ketika pulang sekolah.

Andika pun menjabat tangan Calibri dengan erat, “Hai!”

“Hai!” Calibri membalas sapaan Andika dengan pelan.

“Jadi bisa kita berangkat sekarang?” ajak Andika.

“Tentu saja.” Senyum Indah.

“Hah, mau kemana memangnya?” tanya Calibri terheran-heran merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa sekarang ini.

“Tentu saja kita akan jalan-jalan ke mall.” Bisik Indah di telinga Calibri ketika mereka berjalan bersama menuju mobil jemputan Andika. “Dia kan mau mendekatimu.”

Calibri tidak bisa berkomentar mendengar kalimat yang terakhir. Di dalam mobil pun dia hanya diam dan membiarkan Indah yang banyak berbincang-bincang dengan Andika. Ternyata Andika lumayan ramah dan lucu. Wawasannya juga luas, tidak heran karena nilai-nilainya selalu di atas delapan.

Ketika berada di mall pun, Indah banyak mengambil peran. Namun Calibri tidak ambil pusing, karena dia sadar diri kalau untuk urusan ini dia bukan ahlinya. Berkali-kali Indah menegur Calibri agar lebih aktif, namun dia hanya mengangkat bahunya. Kalau sudah seperti ini, siapapun akan bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang sedang didekati oleh Andika, karena Andika lebih terlihat antusias ketika menatap wajah Indah. Namun anehnya Indah tetep keukeuh kalau yang sedang didekati oleh Andika adalah Calibri.
***

Namun upaya pendekatan itu tidak hanya berhenti sampai dengan jalan-jalan di mall saja. Ketika di dalam sekolah pun, upaya pendekatan itu tetap berjalan. Dimana ada Indah di sana pasti ada Calibri. Hanya orang buta saja yang tidak bisa melihat kalau upaya pendekatan itu memang ditujukan untuk Indah. Namun entah mengapa Indah tetap merasa yakin kalau Andika mendekatinya karena ingin dekat dengan Calibri.

“Jangan pesimis Calibri, Andika itu sering bertanya tentang kau padaku.” Cerita Indah dengan riang berusaha membangkitkan semangat Calibri.

Sebenarnya Calibri tidak mau percaya, entah mengapa hatinya tidak mau percaya. Namun melihat kesungguhan hati Indah untuk mendekatkan dirinya dengan Andika, membuatnya sedikit merasa tersentuh. Mungkin memang tidak ada salahnya kalau dia sedikit berharap kali ini, batin Calibri. Ya, segalanya butuh perjuangan bukan?

Tapi lain halnya dengan Andika yang mulai merasa tidak sabar dengan keberadaan Calibri di antara dirinya dan Indah. Padahal berkali-kali dia berusaha mengirimkan tanda pada Indah kalau dia hanya ingin berdua saja agar bisa menyatakan perasaannya. Apakah memang harus dengan cara frontal mengatakan langsung pada Calibri agar menyingkir sebentar?

“Hallo, Andika,” sapa Stefany masuk ke dalam kelas 8-B, “Anthony mana?”

“Hai, Stef, pacarmu itu lagi ke toilet kayaknya.” Jawab Andika masih membereskan buku-bukunya karena memang sudah saatnya sekolah bubar. “Oh, apakah di kelas masih ada Indah?” tanya Andika.

“Ya, tentu saja.”

“Sendirian?”

“Sama teman sebangkunya itu tentu saja. Kenapa sih?” tanya Stefany merasa kesal pada Andika yang tumben-tumbenan cerewet. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu, “Ah, jadi bagaimana hubunganmu dengan Indah? Sudah jadian?”

“Boro-boro, Calibri itu selalu saja mengganggu. Ada apa sih dengan cewek itu, kenapa selalu menempel pada Indah?” keluh Andika.

Stefany tersenyum, “Yah, memang anak itu sedikit aneh dan tidak punya teman selain Indahmu itu. Makanya tidak heran kalau anak itu sedikit tidak rela kalau Indah direbut sama kamu.”

“Yang benar saja, memangnya dia itu apa sampai berani melarang aku dan Indah jadian? Bener-bener ngeselin banget!”

“Yaaa..., dilabrak aja langsung, suruh minggir. Susah-susah amat!”

Andika menghela nafasnya, “Tidak bisa begitu juga, itu kasar namanya dan bisa menyakiti hatinya, padahal dia pasti tidak bermaksud jahat dengan selalu menghalang-halangi hubunganku dengan Indah.”

Stefany tertawa mendengar ucapan Andika, “Kamu baik banget sih, Dik! Ya udah, terserah kamu aja deh maunya gimana. Kalau tetap mau seperti ini, yang sabar aja menghadapi kelakuan cewek itu.”

Setelah Stefany mengatakan itu, tak lama kemudian Anthony masuk ke dalam kelas. “Hai, Beb, udah lama di sini?” tanya Anthony mengambil tas ranselnya.

“Udah bulukan aku nungguin kamu di sini. Lagian ke toilet aja lama banget sih!” rajuk Stefany.

Anthony merasa gemas melihat bibir Stefany yang sedikit manyun, “Duh, Sayang, ya sudah kamu mau apa sekarang, aku beliin deh! Dik, aku pulang duluan ya!” pamit Anthony.

Andika hanya mengibaskan tangannya untuk mengusir kedua sejoli yang terkadang membuatnya jengah itu. Sekarang keputusan berada di tangannya. Hubungan ini tidak bisa dibiarkan tetap berlangsung seperti ini. Harus melakukan sesuatu.
***

Komentar

  1. Aaaah jadi ngiler pengen belu Frankfurt >~< seru abis deh! Tapi kudu cek harga dulu di priceza.co.id biar dapat rekomen beli online murah di mana. Lagi cekak, huhu

    BalasHapus

Posting Komentar

Hallooo, senang banget kalian sudah mampir dan memberikan komentar di sini ^^

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2