Renungan

Dulu ketika aku masih SMU, aku tidak pernah bilang pada semua temanku dengan pasti apa pekerjaan bapak. Mereka hanya tahu kalau bapak bekerja sebagai seorang wirasawasta tanpa tahu dengan pasti sebagai apa. Aku merasa malu kalau harus bilang bapak seorang pedagang yang mempunyai sebuah toko dan kami sekeluarga tinggal diatas toko tersebut. Semacam ruko begitulah. Rumahku jelek dan malu untuk diperlihatkan ke teman-teman. Aku sama sekali nggak berpikir kalau ada temanku yang rumahnya lebih jelek dari aku. Saat itu aku berpikir, pekerjaan ayahku tidak bonafid sekali. Kenapa, sih, beliau nggak kerja kantoran aja seperti teman-temanku yang lainnya? Makanya aku tidak pernah mengajak teman-temanku main ke rumah, dan selalu aku yang mengunjungi mereka.
Aku ingat sekali ketika aku masih kelas satu SMU, aku selalu membawa pulpen dengan bermacam-macam warna, tentu saja teman sebangkuku saat itu bertanya aku membelinya dimana, dan aku pun menjawabnya, di dekat rumah ada toko yang jual. Memang aku nggak seratus persen berbohong, sih, karena kan tokonya memang dekat sekali, ada di bawah rumahku. Tapi tentu saja seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai menyadari betapa berharganya toko itu, karena dengan toko itu, ayahku mampu membeli sebuah tanah yang dari penjualan tanah itu kembalilah, kami sekeluarga bisa memiliki sebuah rumah dengan luas total lahan 600 m² dan ayah mampu membeli mobil serta menyekolahkan serta mengkuliahi empat orang anaknya walaupun harus menanamkan sikap hidup hemat.
Tapi tentu saja aku tidak secepat itu menghargai usaha ayahku itu. Aku tetap menganggap remeh semua usahanya. Yang aku anggap sangat berjasa dalam mewujudkan semua itu adalah peran serta mama. Kalau bukan karena mama, toko pasti tidak akan bisa sebesar itu dan itu pun tertanam dalam otakku sampai aku kuliah. Aku lebih menghargai dan menyegani mama daripada bapak. Apalagi ketika bapak mulai tua, mulai darah tinggi dan jantungnya mulai lemah, otomatis beliau tidak bisa bekerja lagi seperti layaknya dulu. Tidak jarang dalam hatiku terbersit kata-kata meremehkan bagi beliau. Dan hampir saja aku menjadi anak yang sama sekali tidak menghargai bapak kalau saja aku tidak diingatkan oleh mama.
“Kamu jangan lupa, kalau kamu bisa seperti sekarang, semuanya bermula dari bapak, kok! Waktu mama nikah sama bapak, mama nggak bawa apa-apa.”
Dari kata-kata itulah, aku jadi sadar kalau selama ini aku telah bersikap sangat tidak sopan terhadap bapakku sendiri. Bercermin dari pengalaman itulah, akhir-akhir ini aku mendapati banyak kisah yang sangat menyentuh hati berkenaan dengan peran serta seorang bapak. Dari kisah ini pula aku mendapatkan satu kesimpulan sebuah simbiosis mutualisme yang paling menguntungkan dalam hidup ini, yaitu bersatunya seorang ayah dan istri yang saling bekerja sama dalam membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Sekitar sebulan yang lalu, aku mengenal seorang duda yang sudah satu setengah tahun bercerai dengan istrinya, dan yang lebih menyakitkan adalah justru dia bercerai pada saat kondisi keuangannya berada di posisi paling bawah, alias bangkrut. Kalian pasti paham maksudnya, kan? Yup, istrinya meninggalkannya. Sebenarnya bukan istrinya juga yang meminta cerai, tapi dia sendiri yang memutuskan untuk menceraikan istrinya dikarenakan sang istri sudah tidak bisa lagi dinasehati, alias sang istri tidak mau melayaninya lagi, lebih suka keluyuran walaupun tanpa seijin dirinya dan selalu membangkang. Awalnya aku berpikir, mungkin kalau sang suami mau bersabar sedikit, pernikahan mereka pasti bisa diselamatkan. Namun pemikiran itu berubah manakala aku baru menyadari satu kasus lagi yang justru berkenaan dengan saudara dekatku sendiri. Sebutlah Paman A.
Dulu ketika masih bujang, aku ingat sekali kalau aku pernah main ke toko material miliknya, paman A termasuk pemuda yang sangat berhasil dengan modal usaha material yang sangat kuat ditunjang dengan sifatnya yang sangat apik. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tanpa aku sendiri menyadarinya, yang pasti sih yang aku perhatikan kenapa tokonya makin lama makin mengecil dan akhirnya tidak ada isinya sama sekali, malah dikontrakkan ke orang lain dan dia sendiri malah berjualan makanan bersama istrinya. Dan akhirnya jawabannya baru aku ketahui beberapa hari terakhir ini. Tidak lain tidak bukan ini karena peran serta sang pendamping hidup, alias ISTRI, dengan kata lain, WANITA.
Aku sendiri pun seorang wanita dan aku menyetujui kalau wanita memang harus memiliki sedikit sifat matre karena memang sudah sifat dasar wanita yang suka dipuji, suka kemewahan dan memiliki sifat yang manja. Tapi kalau sudah morotin, malahan ini sang suami sendiri, ini namanya sudah sangat keterlaluan! Bahkan anak-anaknya pun tidak ada yang menghargainya. Mereka tahunya kalau ayah mereka tidak bisa bekerja dan tidak punya uang. Harta warisan habis dijual, uang ratusan juta hilang tanpa bekas, dan paman A sama sekali tidak menikmatinya. Penampilan sehari-harinya sangat kucel, dekil, bau dan benar-benar kalau kita berada di sampingnya tidak akan tahan untuk berlama-lama. Padahal istrinya mempunyai pakaian yang bagus-bagus, anak-anaknya pun dibelikan pakaian yang bagus-bagus. Dan yang paling membuatku sangat sedih manakala mendengar bagaimana cara anaknya membangunkan dirinya, yaitu dengan menendangnya. Kemana rasa hormatnya? Padahal ketika pakaian dalamnya kotor, tidak ada yang mencuci, bahkan sang ibu pun tidak mau mencucinya, sang ayah rela untuk mencucinya. Dia selalu memenangkan keluarga. Dia selalu berkata, “Nggak apa-apalah! Toh habis juga sama anak-istri ini, bukan kemana-mana!” Dia terlalu takut untuk ditinggalkan sang istri padahal istrinya sama sekali tidak mengurusnya. Tapi sampai kapan dia bisa bersabar menerima semuanya?
Memang ibu yang merawat kita dari kita lahir, merangkak, berjalan, bahkan sampai bisa memakai otak ini untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk. Dan peran Istri jugalah yang mendukung suaminya baik dalam keadaan jayanya maupun dalam keadaan terpuruknya. Mereka tidak bisa hidup tanpa kita, wanita, seperti yang terjadi pada pamanku. Tapi kita pun tidak bisa hidup tanpa mereka. Seorang pria yang baik juga belum cukup, bila didampingi oleh wanita yang hanya menginginkan kekayaannya. Tapi seorang wanita yang baik juga tidak cukup bila sang pria yang diladeninya malah selingkuh dibelakangnya. Jadi bukankah sebaiknya kita semua mulai instropeksi diri, baik yang sudah berkeluarga, hendak ataupun belum berkeluarga, termasuk yang manakah diri kita? Apakah kita menikah hanya sekedar untuk mengejar kepuasan nafsu sex semata? Ataukah memang kita hendak mengarungi bahtera kehidupan yang baru denga penuh tanggung jawab?

Komentar

  1. Semoga ninna menjadi sebaik-baiknya wanita... wanita solehah :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Hallooo, senang banget kalian sudah mampir dan memberikan komentar di sini ^^

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2