After years

781
Hati manusia itu lemah, hati wanita apa lagi. Kalau tidak sering-sering dipupuk, hati itu akan perlahan luntur dan habis. Pernikahanku dan suami terhitung cepat karena kami dijodohkan. Sehingga ketika kami menikah, rasa di dalam hati kami belumlah merupakan rasa cinta ataupun sayang. Melainkan sebuah rasa penerimaan karena memang kami harus menikah untuk menggenapkan dien kami.
Seperti kebanyakan pernikahan lainnya yang diselingi oleh perselisihan dan pertengkaran, kami pun mengalaminya. Bahkan ketika awal sekali kami menikah dan saya belum mengenal karakter suami dengan baik, saya pernah ngambek dan diam saja tidak menegur suami. Tentu saja hal itu membuat suami bingung dan memutuskan untuk pergi menghabiskan waktu di kantornya. Ketika sudah melewati tengah malam dan suami belum juga pulang, menjelang pagi, saya pun sudah kehilangan kesabaran dan akhirnya mengamuk dengan membanting-banting barang yang ada di dalam kamar. Membuat ayah dan ibu mertua saya terbangun. Padahal tak lama kemudian, suami pun pulang dan melihat kekacauan yang saya timbulkan. Suami memang tidak marah, tapi setelah itu dan setelah banyak kejadian lain lagi, akhirnya saya tahu kalau suami lebih galak dari saya. Dia menekan saya bukan dengan bentakan, tapi menyerang psikologis saya langsung sehingga akhirnya saya pun tunduk.
Sebagai wanita, entah mengapa perasaan itu terkadang terlalu dominan. Ketika amarah menguasai, ada kalanya sebuah bisikin syetan terdengar di telinga saya, "Sudah, ceraikan saja!" Astaghfirullah. Tidak diridhoi Allah perceraian yang bukan disebabkan oleh hal yang syar'i. Hanya karena rasa marah dan kesal karena suami tidak seperti yang diinginkan maka saya memendam rasa agar suatu saat ketika tiba saatnya, saya akan menggugat cerainya. Membuatnya menderita dan sakit. Astaghfirullah, maafkan aku Allah, jahat sekali diriku. Tapi memang dasarnya saya pelupa, dengan cepat saya tidak mengingat niat itu lagi. Namun ketika kembali sikap suami tidak sesuai dengan yang saya inginkan, saya kembali berpikiran untuk meminta cerai darinya. Terus seperti itu, berkali-kali.
Dan akhirnya setelah hampir masa tiga tahun pernikahan kami, setelah banyak hal kami lewati, masa senang, masa sulit, sedih, masalah yang membuat suami stress, saya baru menyadarinya dan membuat keputusan. In Shaa allah, kalau Allah menghendaki, saya akan terus mempertahankan pernikahan ini, dalam kondisi sesulit apapun, semenyebalkan apapun suami saya. Karena akhirnya mata saya terbuka sepenuhnya, sosok suami yang menjadi pendamping saya sekarang ini. Saya tidak bisa menjelaskannya secara rinci di sini. Namun yang pasti, akhirnya saya tahu beginilah yang namanya perasaan cinta. Sekesal apapun, saya tidak akan pernah tahan untuk tidak bicara dengannya. Sekesal apapun, saya selalu berusaha meluruskan hati saya untuk mendoakan suami yang terbaik. Sesulit apapun, saya ingin berusaha menjadi seseorang yang berarti dan bermanfaat bagi dirinya, walau sekecil apapun pertolongan yang bisa saya berikan padanya. In shaa Allah tidak akan ada lagi pikiran untuk meminta cerai darinya hanya karena sikap suami yang tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Maafkan aku Allah, maafkan atas semua pikiran buruk itu. Saya sungguh sangat kekanak-kanakan. Lindungilah kami selalu, Ya Allah. "Mataku akan selalu tertuju padamu."

Komentar

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2