Side Story of Calibri Serena

781



Matahari bersinar dengan sangat terik, tapi kehidupan kota Jakarta tetaplah seramai, sesibuk dan semacet seperti biasanya. Namun, di sebuah rumah di daerah Depok, terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya.
Seorang anak perempuan yang sedang beranjak remaja, berumur 11 tahun, berdiri dengan menyendiri di balik salah satu dinding rumah. Dia merasa bingung dan takut dengan banyaknya orang yang keluar masuk ke dalam rumahnya. Sebagian besar dari mereka datang dengan berpakaian serba hitam dan mengeluarkan air mata. Bahkan Ayah pun menangis dan terkadang tidak kuasa menahan emosi sehingga beberapa kali memutuskan untuk menyendiri sebentar di dalam kamar.
“Calibri, apa yang kamu lakukan di sana? Keluarlah, banyak tamu yang datang dan menanyakanmu.” Ibu Dyah, tetangga rumah yang sudah sangat akrab dengan keluarga mencoba mengulurkan tangannya pada anak perempuan itu, Calibri Serena. Tampak senyum lembut di wajahnya yang masih terlihat ayu walaupun kerut di sana-sini.
Calibri menurut dan membalas uluran tangan Bu Dyah. Kemudian beliau membawanya menuju ruang tengah. Dan seperti yang sudah diduga sebelumnya, semua tamu yang hadir satu persatu datang memeluknya dan mengucapkan bela sungkawa. Calibri hanya bisa pasrah menerima semua pelukan itu. Dia bukannya tidak tahu atau tidak peduli, namun walaupun sang Ibu sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir, Calibri sama sekali tidak menangis. Entah bagaimana, dia merasa, kalaupun dirinya sudah tidak bisa mengajak ngobrol Ibu di dunia ini, dia selalu merasa Ibu hidup, entah di mana, dan suatu saat mereka akan kembali bertemu.
***

Sebuah batu terlempar cukup jauh, tidak mengira kalau lemparan itu berasal dari sebuah tangan kurus dan kecil milik Calibri. Calibri memang terlambat tumbuh, di usia 11 tahun, dia belum mendapat haid pertamanya, dadanya pun masih rata. Tubuhnya terlampau kurus. Namun bukan karena dia tidak doyan makan. Sebaliknya, porsi makan anak ini bisa dua kali porsi anak seumuran dirinya.
Calibri sama sekali tidak suka berada di tanah lapang ini. Tidak ada bangunan rumah dan pohon-pohon pun hanya sedikit, digantikan oleh beratus-ratus gundukan tanah dengan batu nisan di salah satu ujungnya.
Walaupun ayah menyuruhnya untuk selalu berdiri di sampingnya, pada kenyataannya dia diam-diam kabur dan menjauh dari lokasi ibu dimakamkan. Tentu saja hal itu membuat keributan kecil pada prosesi pemakaman. Untung saja Calibri membawa telepon genggam, sehingga ayah bisa mengetahui posisinya.
“Aku tidak suka berada di sana, Ayah. Terlalu banyak orang yang menatapku. Ayah kan tahu aku tidak suka berada di tengah-tengah orang seperti itu.” Ucap Calibri membalas telepon Ayah.
Ayah menghela nafas panjang, “Baiklah, tapi jangan jauh-jauh, setelah acara selesai, Ayah akan meneleponmu lagi.”
“Baiklah.”
Setelah itu telepon pun ditutup. Namun, peringatan ayah tidak terlalu jelas. Ayah hanya bilang jalan jauh-jauh. Sedangkan ukuran jauh menurut ayah dan dirinya berbeda. Dan tak jauh dari posisi Calibri sekarang merupakan pagar pembatas area pemakaman dengan jalan raya. Dia memutuskan untuk berjalan keluar. Yang penting kan jangan jauh-jauh.
Begitu sampai di luar pagar, jalan raya begitu lengang dan sepi. Kendaraan yang lewat bisa dihitung dengan jari. Calibri bermaksud menyeberang karena dia melihat sebuah kolam ikan yang terlihat cukup menarik. Hampir saja dia tertabrak oleh sebuah mobil kalau tidak diselamatkan oleh seorang pemuda yang kebetulan sedang lewat.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya pemuda tersebut yang kelihatannya baru saja pulang kuliah.
Calibri tidak bisa menjawab, dia terlalu kaget ketika badannya mendadak ditarik dengan keras dan jatuh di atas tanah berumput.
“Hei, kamu tidak apa-apa?” ulang pemuda tersebut.
Perlahan-lahan mata Calibri mulai beralih memandang wajah pemuda tersebut. Ah, walaupun sudah pantas disebut pria, namun masih ada garis anak-anak di wajahnya, mungkin baru saja masuk kuliah. Tiba-tiba ada sebuah sensasi aneh hinggap di dasar perutnya. Seperti berpuluh-puluh kupu-kupu yang beterbangan di dalam dasar perutnya, geli namun menyakitkan. Dan Calibri tidak bisa memahami perasaan yang sedang dialaminya sekarang.
Merasa tidak akan mendapatkan jawaban, pemuda ini memutuskan untuk membantu Calibri berdiri. Ditariknya tubuh Calibri dengan sangat mudah. Pemuda ini memang bertubuh lumayan besar, 178 cm. Sedangkan saat ini, tinggi Calibri hanya 140 cm.
Akhirnya Calibri tersadar juga, “Te-terima kasih.” Ucapnya dan langsung menunduk. Pemuda ini tidak bisa dibilang super ganteng seperti foto model, tapi wajahnya cukup menarik, dengan kulit putih, hidung mancung, rambut lurus dan kaca mata yang membingkai wajahnya.
“Tidak masalah. Lain kali hati-hati. Memangnya kamu mau kemana?”
“Aku hanya tertarik melihat kolam ikan di seberang sana.” Tunjuknya. Tidak aneh, pada saat Calibri berumur 11 tahun, wilayah ini memang masih sangat sepi dan banyak kebun-kebun.
“Oh..., lalu kamu sama siapa? Apakah sendirian?”
Calibri menggeleng, “Ada ayah, tapi ayah harus terus mengikuti acara pemakaman ibu di dalam sana.”
Pemuda ini pun kaget mendengar penuturan Calibri yang begitu polos. “Ibumu meninggal dan sedang dimakamkan di dalam sana?”
Calibri mengangguk pelan. Pemuda ini tidak habis pikir. Anak perempuan mana ketika ibunya sedang dimakamkan dia malah memilih pergi keluar seorang diri? 
Atau mungkin sebaiknya dia berprasangka baik saja pada anak perempuan ini. Boleh saja dia tidak menangisi kepergian ibunya, tapi jauh di dalam hati anak perempuan ini, dia sedang menangis kehilangan. Oleh sebab itu, tanpa sadar, karena tidak tahan, anak perempuan ini memutuskan untuk menyingkir jauh-jauh dan lebih memilih untuk tidak melihat jasad ibu dimasukkan ke dalam tanah untuk selamanya. Ya, pasti begitu alasannya!
Pemuda ini menepuk pundak Calibri pelan dan tersenyum lembut, “Kalaupun kamu mau menangis, tidak akan ada yang menyalahkanmu kok!”
Mendapat tepukan lembut tersebut, membuat Calibri terhenyak kaget dan menoleh. Untuk kedua kalinya dia memandang wajah pemuda di hadapannya ini, dan hal itu semakin membuatnya tidak nyaman. Namun demi sopan santun dia pun membalas.
“Terima kasih, Kak...,”
“Ian, panggil aku Ian.” Senyumnya.
***

“Ayaahh..., sarapan sudah siap!” teriak Calibri satu tahun kemudian.
Kehidupan pun berjalan dengan normal kembali. Walaupun beberapa kali ayah sempat terlihat tidak ceria dan sedih setiap kali merindukan Ibu, namun segalanya berlangsung dengan normal. Saat ini ayah sedang datang berkunjung setelah empat bulan tidak bertemu dengan Calibri. Ayah harus bekerja di luar negeri. Setidaknya dalam setahun Ayah bisa 2-3 kali pulang ke tanah air.
Calibri tetap tinggal di Indonesia, dititipkan pada bu Dyah, seorang janda, yang mengontrak di rumah sebelah. Sejauh ini berjalan dengan lancar, uang kiriman dari Ayah selalu lebih dari cukup, bahkan Bu Dyah pun juga mendapat jatah bulanan, sebagai ucapan terima kasih telah menjaga Calibri selama Ayah tidak ada. Kebetulan juga kedua anak lelaki Bu Dyah kuliah di luar kota, sehingga dengan senang hati wanita paruh baya ini menjaga Calibri dan rumahnya.
Perlahan-lahan tubuh Calibri semakin tinggi dan berisi, tidak gemuk namun membuatnya jadi terlihat atletis karena bekerja keras membersihkan rumah setiap harinya. Tidak perlu dipanggil dua kali, ayah sudah muncul di dalam dapur.
“Hmmm..., kelihatannya lezat nasi goreng ini.” Puji Ayah.
“Ya, memang selalu terlihat lezat karena setiap hari juga aku buat nasi goreng hanya saja beda variasi, Ayah.” Senyum gadis ini merasa geli dengan tingkah ayah.
“Tidak masalah. Kalau seperti ini, Ayah yakin kamu pasti bisa jadi ibu rumah tangga yang sangat baik dan disayang oleh suami.”
Mendengar ucapan ayah, anak gadis mana yang tidak akan merasa malu? Calibri pun salah satu yang akan merasa malu mendengar ucapan itu. Wajahnya yang berkulit coklat sekarang menjadi berwarna merah. Melihat perubahan raut wajah putri tunggalnya tentu saja membuat ayah tertawa bahagia. Beliau pun memeluk Calibri dengan penuh sayang.
***

Walaupun tubuh Calibri sudah banyak berkembang dan juga atletis, tapi Calibri tetap tidak menyukai pelajaran olahraga. Kalau di kelas, Calibri bisa berlagak agar tidak disadari oleh seluruh teman-teman sekelas akan keberadaannya. Dia akan sangat diam dan duduk saja dipojokan belakang kelas tanpa berusaha untuk dikenali.
Tapi ketika pelajaran olah raga, usaha itu akan sia-sia. Sebagai contoh ketika latihan mengoper dalam basket, mereka harus berpasang-pasangan, otomatis hal itu membuatnya harus berteguran dengan salah seorang teman. Ataupun ketika latihan servis dalam voli, senam, sepak bola, tidak ada olah raga yang bisa dilakukannya sendirian saja. Pasti akan melibatkan anak lainnya dan hal itu benar-benar menyulitkan Calibri. Bukan karena sombong dan tidak mau bertemu, namun lebih disebabkan karena Calibri tidak tahan setiap kali mereka memandangi dirinya atau ketika dia harus balik menatap wajah mereka.
“Calibri Serena,” panggil Pak Omar, guru olah raga mereka di kelas satu SMP.
Walaupun enggan, Calibri tetap mengangkat tangannya. Kemudian dia bangkit dari duduknya yang terletak agak jauh dari anak-anak lainnya dan berjalan menghampiri Pak Omar.
Kali ini merupakan pengambilan nilai Basket. Dia diharuskan mendribble, passing, lay up, dan memasukkan bola ke dalam ring. Tentu saja dia tidak akan sendirian. Dia akan berpasangan dengan seorang anak perempuan.
“Vanda Permata,” panggil Pak Omar berikutnya.
Berdirilah seorang anak perempuan yang berwajah cantik dan menarik, dengan kulit putih, hidung mancung, mata besar, bibir tebal dan rambut ikal sepunggung. Dia terlihat sangat percaya diri. Dipasangkan dengan seorang anak perempuan yang bahkan sebelumnya tidak pernah dia ketahui keberadaannya di dalam kelas, tentu saja membuatnya menjadi menganggap remeh Calibri.
Setelah Pak Omar meniupkan peluit, Calibri segera mendribble bola dengan lancar sampai ke ujung lapangan, sedangkan Vanda yang hanya menang di gaya, merasa kesulitan menggiring bola merah tersebut.
Setelah itu peluit kembali berbunyi, Calibri mengoper bola ke Vanda sambil menggeser ke samping, Vanda berusaha untuk menangkapnya namun kesulitan setiap kali dia harus melakukannya sambil bergerak ke samping, sehingga beberapa kali dia menjatuhkan bola tersebut, bahkan operan bolanya beberapa kali tidak tepat sasaran.
Peluit berbunyi untuk yang ketiga kalinya, Calibri berlari pelan menuju ring dan dengan gerakan anggun, dia melompat dan melepaskan bola masuk ke dalam ring dengan mulus, atau yang biasa disebut Lay up. Namun begitu giliran Vanda yang melakukan lay up, dia mendapat kesulitan. Mendribble saja susah, ini ditambah harus melompat dan memasukkan ke dalam ring. Vanda merasa kesal sekali.
Tes pengambilan nilai terakhir, memasukkan bola dari posisi diam beberapa meter di depan ring.  Sekali lagi, Calibri bisa melakukannya dengan sangat baik. Walaupun dia malas olah raga, namun dia memang selalu mendapat nilai bagus dalam pelajaran ini.
Sebaliknya, Vanda sudah tidak tahan. Boro-boro bola masuk ke dalam ring, sampai ke ring saja tidak bisa. Tanpa menyentuh ring, bola sudah jatuh di atas tanah lagi. Tentu saja dia mendapatkan nilai yang jelek di mata pelajaran ini.
Setelah itu, Vanda menatap Calibri dan merasa harga dirinya terinjak-injak. Padahal dia merupakan gadis populer di sekolah ini. Dia memang tidak bangga dengan kemampuan olah raganya, namun dikalahkan dengan telak oleh seorang anak perempuan yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya sebelumnya, tentu saja hal itu sangat-sangatlah... memalukan!
***

Calibri sedang merasa keheranan. Pasalnya buku tugas matematika miliknya tidak bisa ditemukan di dalam tas. Padahal dia yakin sekali kalau sudah membawanya. Padahal buku itu harus dikumpulkan sekarang untuk dinilai oleh Pak Rahmad. Dia pun menjadi sangat panik. Murid-murid yang lain satu persatu sudah mengumpulkan buku tugasnya, sedangkan Pak Rahmad belum masuk ke dalam kelas.
“Cal, buku kamu mana? Pak Rahmad bentar lagi masuk.” Tegur Joko, sang ketua kelas, yang bertugas mengumpulkan.
 Calibri menggeleng pelan, tapi wajahnya sudah sangat pucat. “Buku aku tidak ada.” Gumamnya pelan nyaris tidak terdengar oleh Joko.
“Coba keluarin semua isi tas kamu. Kali aja nyempil.” Usul Joko merasa kasihan pada teman sekelasnya yang terkenal sangat pendiam dan penyendiri. Makanya walaupun yang lain duduk berpasangan, karena jumlah murid di kelas ganjil, Calibri harus duduk sendirian.
Calibri menurut, dia mengeluarkan seluruh isi tasnya yang hanya berupa buku pelajaran dan alat-alat tulis. Diperiksanya satu persatu buku-buku yang dibawanya, yang memiliki sampul buku yang sama, yaitu berwarna coklat.
“Ada?”
Calibri menggeleng.
“Ketinggalan di rumah?”
“Aku sudah membawanya, kok!”
“Terus gimana, dong? Aku musti naro buku ini di atas meja guru sebelum Pak Rahmad dateng!”
“Ya udah, kumpulin aja, Ko, nggak usah nungguin aku. Nanti aku lapor aja ke Pak Rahmad begitu beliau masuk kelas.”
Tidak menjawab, Joko segera berjalan ke muka kelas dan menyimpan semua buku-buku yang sudah dikumpulkannya ke atas meja guru. Kemudian dia sendiri pun duduk di kursinya.
Tak lama kemudian seorang pria paruh baya berumur hampir lima puluh tahun, berkumis tebal, berbadan tambun dan berkulit gelap, masuk ke dalam kelas. Beliau adalah Pak Rahmad.
Joko memimpin seluruh murid untuk memberi salam kepada Pak Rahmad. Setelah itu semua pun hening, sementara Pak Rahmad langsung menuliskan sebuah rumus di atas papan tulis. Pak Rahmad memang terkenal galak, namun cara mengajarnya mudah dimengerti, sehingga murid-murid segan padanya.
Saat itulah, Calibri bangkit dari kursinya dan maju ke depan kelas. Walaupun sebenarnya merasa sangat grogi dan sebisa mungkin menghindari tatapan mata seluruh teman-teman satu kelas, namun entah mengapa, ketika dia melewati meja Vanda, dia menolehkan kepalanya sedikit dan melihat senyum di wajah anak perempuan itu.
Calibri langsung menunduk lagi. Entah mengapa setelah melihat wajah Vanda, dia seperti melihat bayangan tubuh Vanda yang berjalan masuk ke dalam kelas bersama kedua orang sahabatnya. Vanda langsung berjalan menuju meja miliknya dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Namun lamunan itu terhenti ketika dia sudah berdiri tepat di samping tubuh Pak Rahmad yang baru saja selesai menulis materi pelajaran untuk hari ini. Tentu saja Pak Rahmad merasa heran melihat salah satu murid terpintarnya sekarang berdiri di depannya dengan kepala yang tertunduk dalam.
“Ya, kenapa, Nak Calibri?” tanya Pak Rahmad dengan suara baritonnya yang sanggup memenuhi seluruh isi kelas walaupun beliau hanya bermaksud berbicara pelan.
“Anu, Pak, sebelumnya saya minta maaf, dan saya sangat yakin kalau sebelumnya saya membawa buku tugas saya. Tapi entah mengapa ketika ingin dikumpulkan, buku itu tidak bisa saya temukan di dalam tas.” Jelas Calibri tanpa basa-basi.
Pak Rahmad terdiam mendengar penjelasan itu. Beliau agak merasa takjub dengan keberanian anak ini. “Apakah tertinggal?” tanya beliau lagi.
Calibri menggeleng, “Saya tidak tahu, Pak, karena sebelumnya saya yakin kalau saya membawanya. Tapi semoga saja tertinggal.”
Saat ini dia sudah sangat pasrah. Entah apa yang akan dilakukan Pak Rahmad padanya, dia sudah tidak peduli. Saat inilah lamunan yang tadi sempat terhenti, kembali berlanjut. Dia kembali melihat bayangan tubuh Vanda yang berjalan menuju lemari buku dan menyimpan sesuatu di dalam sana. Setelah itu semuanya menghilang. Calibri menggelengkan kepalanya. Mungkinkah...?
“Ma-maaf, Pak, tapi boleh saya permisi sebentar?” tanya Calibri dan tanpa menunggu jawaban Pak Rahmad, dia berjalan menuju lemari buku di sudut kelas dan membukanya.
Lemari buku ini sebenarnya hanya berisi buku absen, buku panduan untuk guru dan foto-foto kelas, sehingga jarang ada murid-murid yang membukanya kecuali petugas piket. Calibri membukanya, dan memeriksa di bawah buku absen dan perkembangan kelas. Benar saja, dia mendapati bukunya berada di sana. Calibri mengambil buku tersebut dan berjalan kembali mendekati Pak Rahmad dengan wajah yang masih terheran-heran.
“Apa itu, Nak Calibri?”
“Aku... menemukan buku tugasku, Pak...,” jawab Calibri pelan lebih merasa sangat heran dan kebingungan daripada merasa senang.
***

“Aku masih tidak habis pikir, bagaimana dia bisa menemukan bukunya dengan begitu cepat. Apakah ada salah satu di antara kalian yang membocorkannya?” tanya Vanda dengan gemas kepada teman-teman satu clique yang seluruhnya berjumlah tiga orang termasuk dirinya. Mereka bertiga memang cantik-cantik, kaya, lumayan pintar dan populer.
Kedua anak perempuan itu pun menggeleng.
“Untuk apa kami membocorkannya? Lagipula hal itu juga menjadi kesenangan bagi kami ketika melihatnya dihukum oleh Pak Rahmad.” Jawab Stefany, gadis blesteran Inggris dan bertubuh paling tinggi.
Vanda menggeleng masih merasa tidak yakin. Otaknya kembali berputar merencanakan keisengan selanjutnya untuk Calibri.
“Lagipula kamu ada dendam apa sama anak itu sih? Perasaan dia kan pendiem banget, nggak ada teman yang deket sama dia. Apa hanya karena dia ngalahin kamu dalam pengambilan nilai basket?” Lanjut Deasy yang berkaca-mata. Padahal Vanda sudah sering membujuknya menggantinya dengan contact lens saja, tapi Deasy tidak menurut. Bukannya tidak mau, tapi mata Deasy ternyata sangat sensitif. Sehingga setiap dia memakai contact lens, pasti langsung merah dan berair.
Vanda hanya mengangkat bahunya, “Mungkin itu salah satunya.”
Stefany dan Deasy hanya geleng-geleng. Vanda memang suka aneh dan iseng. Tapi disitulah letak kesenangannya ketika berteman dengannya. Rasanya tidak pernah membosankan.
***

Vanda memang anak perempuan yang agak keras kepala. Ketika dia merencanakan sesuatu, pasti harus terlaksana. Rencana mengisengi Calibri pun dimulai.
Rencana berikutnya adalah dengan menyembunyikan tas Calibri pada saat istirahat siang ketika kelas sedang kosong, karena semua murid memang dilarang berada di dalam kelas, hal ini dilakukan sebagai bentuk keamanan agar tidak ada barang yang hilang. Tapi seperti sebelumnya, walaupun perlu beberapa saat, Calibri bisa menemukan tasnya kembali di dalam kelas sebelah, tepatnya di dalam lemari juga.
Kemudian berlanjut pada pakaian olah-raga milik Calibri yang dengan sengaja dilempar Vanda keluar kelas, melewati balkon dan akhirnya jatuh di kolam ikan di taman sekolah yang kebetulan tepat berada di bawah kelas. Namun Cerisa tidak ambil pusing.
Vanda jadi bertambah gemas ketika rencana-rencananya ternyata tidak pernah berjalan mulus. Bahkan ketika dia hendak menyorongkan kakinya ketika Calibri hendak berjalan melintas di depannya pun, hal itu dengan sangat mudah dihindari olehnya.
Memang lambat laun, Calibri merasa agak kewalahan untuk melalui semua itu. Dia sendiri pun terheran-heran kenapa Vanda iseng banget pada dirinya. Padahal jelas-jelas bisa dilihat dalam mata Vanda tidak ada kebencian sedikit pun di sana.
“Kamu aneh banget, sih!” tanya Vanda suatu hari ketika kebetulan hanya ada mereka berdua yang sedang duduk di depan pintu ruang Tata Usaha.
“Aneh?” tanya Calibri terheran-heran.
“Ya, aku selalu melihatmu seorang diri. Padahal kita ini kan makhluk sosial, sudah sepantasnya kau bersosialisasi dengan teman-temanmu.” Lanjut Vanda.
Calibri tidak langsung menjawab, sebenarnya dia agak merasa bingung harus menjawab bagaimana, karena baginya, ucapan Vanda itu bukanlah merupakan kalimat tanya yang perlu dijawab. “Terima kasih.”
Mendengar jawaban Calibri yang agak tidak nyambung, membuat Vanda terheran-heran. “Kenapa berterima kasih?”
“Karena kupikir itu balasan yang tepat untuk kalimat yang kau ucapkan padaku.” Jawab Calibri agak merasa jengah dengan segala percakapan ini. Dia ingin Vanda segera pergi dan membiarkannya duduk seorang diri.
Tentu saja Vanda langsung tertawa keras, “Kau memang anak aneh!”
Setelah mengatakan itu, Vanda pergi begitu saja. Meninggalkan Calibri dalam tanda tanya besar. Dia benar-benar tidak paham di mana letak kelucuan dalam perbincangan mereka sampai Vanda harus tertawa keras seperti itu.
Vanda boleh saja mengajaknya berbincang-bincang seolah tidak ada masalah. Namun tetap saja, keisengan Vanda dan teman-temannya tetap tidak berhenti sampai mereka naik ke kelas berikutnya.
***

--bersambung


Komentar

  1. Kak Ninna, terhanyut deh baca ceritanya. Btw, Frankfurt udah ada di rak buku nih, tinggal dibaca aja. Insya Allah nanti bakal ditulis reviewnya di blog buku. :D

    BalasHapus
  2. Mba saya mau tanya, mungkin ga bahas isi cerita. Bagaimana caranya supaya anak yg bercita-cita menjadi penulis? Pertanyaan serius. Hehehe. Salam 1minggu1cerita

    BalasHapus
  3. @Intan Makasih yaaa, selamat membaca ;) Ditunggu reviewnya

    @Phadli Maaf mas, pertanyaannya itu anaknya bercita-cita jadi penulis atau orang tuanya yang ingin anaknya jadi penulis? Gampangnya sih mas, anaknya disuruh nulis aja dulu. Diajarkan basic menulis cerita pendek aja dulu. Karakternya, alur ceritanya. Kalau sudah jadi, mas yang kirim deh ke penerbit :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Hallooo, senang banget kalian sudah mampir dan memberikan komentar di sini ^^

Popular

Keseruan Pertama Kali Bermain Ski di South Korea

Cruise to Alaska

1st Flight Kuala Lumpur part 2