Side Story of Calibri Serena
781
--bersambung
Matahari bersinar dengan sangat
terik, tapi kehidupan kota Jakarta tetaplah seramai, sesibuk dan semacet
seperti biasanya. Namun, di sebuah rumah di daerah Depok, terlihat kesibukan
yang tidak seperti biasanya.
Seorang anak perempuan yang
sedang beranjak remaja, berumur 11 tahun, berdiri dengan menyendiri di balik
salah satu dinding rumah. Dia merasa bingung dan takut dengan banyaknya orang
yang keluar masuk ke dalam rumahnya. Sebagian besar dari mereka datang dengan
berpakaian serba hitam dan mengeluarkan air mata. Bahkan Ayah pun menangis dan
terkadang tidak kuasa menahan emosi sehingga beberapa kali memutuskan untuk
menyendiri sebentar di dalam kamar.
“Calibri, apa yang kamu lakukan
di sana? Keluarlah, banyak tamu yang datang dan menanyakanmu.” Ibu Dyah,
tetangga rumah yang sudah sangat akrab dengan keluarga mencoba mengulurkan
tangannya pada anak perempuan itu, Calibri Serena. Tampak senyum lembut di
wajahnya yang masih terlihat ayu walaupun kerut di sana-sini.
Calibri menurut dan membalas
uluran tangan Bu Dyah. Kemudian beliau membawanya menuju ruang tengah. Dan
seperti yang sudah diduga sebelumnya, semua tamu yang hadir satu persatu datang
memeluknya dan mengucapkan bela sungkawa. Calibri hanya bisa pasrah menerima semua
pelukan itu. Dia bukannya tidak tahu atau tidak peduli, namun walaupun sang Ibu
sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir, Calibri sama sekali tidak menangis.
Entah bagaimana, dia merasa, kalaupun dirinya sudah tidak bisa mengajak ngobrol
Ibu di dunia ini, dia selalu merasa Ibu hidup, entah di mana, dan suatu saat
mereka akan kembali bertemu.
***
Sebuah batu terlempar cukup
jauh, tidak mengira kalau lemparan itu berasal dari sebuah tangan kurus dan
kecil milik Calibri. Calibri memang terlambat tumbuh, di usia 11 tahun, dia belum
mendapat haid pertamanya, dadanya pun masih rata. Tubuhnya terlampau kurus. Namun bukan karena dia tidak doyan makan.
Sebaliknya, porsi makan anak ini bisa dua kali porsi anak seumuran dirinya.
Calibri sama sekali tidak suka
berada di tanah lapang ini. Tidak ada bangunan rumah dan pohon-pohon pun hanya
sedikit, digantikan oleh beratus-ratus gundukan tanah dengan batu nisan di
salah satu ujungnya.
Walaupun ayah menyuruhnya untuk
selalu berdiri di sampingnya, pada kenyataannya dia diam-diam kabur dan
menjauh dari lokasi ibu dimakamkan. Tentu saja hal itu membuat keributan kecil
pada prosesi pemakaman. Untung saja Calibri membawa telepon genggam, sehingga
ayah bisa mengetahui posisinya.
“Aku tidak suka berada di sana,
Ayah. Terlalu banyak orang yang menatapku. Ayah kan tahu aku tidak suka berada
di tengah-tengah orang seperti itu.” Ucap Calibri membalas telepon Ayah.
Ayah menghela nafas panjang,
“Baiklah, tapi jangan jauh-jauh, setelah acara selesai, Ayah akan meneleponmu
lagi.”
“Baiklah.”
Setelah itu telepon pun
ditutup. Namun, peringatan ayah tidak terlalu jelas. Ayah hanya bilang jalan
jauh-jauh. Sedangkan ukuran jauh menurut ayah dan dirinya berbeda. Dan tak jauh
dari posisi Calibri sekarang merupakan pagar pembatas area pemakaman dengan
jalan raya. Dia memutuskan untuk berjalan keluar. Yang penting kan jangan
jauh-jauh.
Begitu sampai di luar pagar,
jalan raya begitu lengang dan sepi. Kendaraan yang lewat bisa dihitung dengan
jari. Calibri bermaksud menyeberang karena dia melihat sebuah kolam ikan yang
terlihat cukup menarik. Hampir saja dia tertabrak oleh sebuah mobil kalau tidak
diselamatkan oleh seorang pemuda yang kebetulan sedang lewat.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya
pemuda tersebut yang kelihatannya baru saja pulang kuliah.
Calibri tidak bisa menjawab, dia
terlalu kaget ketika badannya mendadak ditarik dengan keras dan jatuh di atas
tanah berumput.
“Hei, kamu tidak apa-apa?”
ulang pemuda tersebut.
Perlahan-lahan mata Calibri mulai beralih memandang wajah pemuda tersebut. Ah, walaupun sudah pantas
disebut pria, namun masih ada garis anak-anak di wajahnya, mungkin baru saja
masuk kuliah. Tiba-tiba ada sebuah sensasi aneh hinggap di dasar perutnya.
Seperti berpuluh-puluh kupu-kupu yang beterbangan di dalam dasar perutnya, geli
namun menyakitkan. Dan Calibri tidak bisa memahami perasaan yang sedang
dialaminya sekarang.
Merasa tidak akan mendapatkan
jawaban, pemuda ini memutuskan untuk membantu Calibri berdiri. Ditariknya tubuh
Calibri dengan sangat mudah. Pemuda ini memang bertubuh lumayan besar, 178 cm. Sedangkan saat ini, tinggi Calibri hanya 140 cm.
Akhirnya Calibri tersadar juga,
“Te-terima kasih.” Ucapnya dan langsung menunduk. Pemuda ini tidak bisa
dibilang super ganteng seperti foto model, tapi wajahnya cukup menarik, dengan
kulit putih, hidung mancung, rambut lurus dan kaca mata yang membingkai
wajahnya.
“Tidak masalah. Lain kali
hati-hati. Memangnya kamu mau kemana?”
“Aku hanya tertarik melihat
kolam ikan di seberang sana.” Tunjuknya. Tidak aneh, pada saat Calibri berumur 11 tahun, wilayah ini memang masih sangat sepi dan banyak kebun-kebun.
“Oh..., lalu kamu sama siapa?
Apakah sendirian?”
Calibri menggeleng, “Ada ayah,
tapi ayah harus terus mengikuti acara pemakaman ibu di dalam sana.”
Pemuda ini pun kaget mendengar
penuturan Calibri yang begitu polos. “Ibumu meninggal dan sedang dimakamkan di
dalam sana?”
Calibri mengangguk pelan. Pemuda
ini tidak habis pikir. Anak perempuan mana ketika ibunya sedang dimakamkan dia
malah memilih pergi keluar seorang diri?
Atau mungkin sebaiknya dia berprasangka
baik saja pada anak perempuan ini. Boleh saja dia tidak menangisi kepergian
ibunya, tapi jauh di dalam hati anak perempuan ini, dia sedang menangis
kehilangan. Oleh sebab itu, tanpa sadar, karena tidak tahan, anak perempuan ini
memutuskan untuk menyingkir jauh-jauh dan lebih memilih untuk tidak melihat
jasad ibu dimasukkan ke dalam tanah untuk selamanya. Ya, pasti begitu
alasannya!
Pemuda ini menepuk pundak
Calibri pelan dan tersenyum lembut, “Kalaupun kamu mau menangis, tidak akan ada
yang menyalahkanmu kok!”
Mendapat tepukan lembut
tersebut, membuat Calibri terhenyak kaget dan menoleh. Untuk kedua kalinya dia
memandang wajah pemuda di hadapannya ini, dan hal itu semakin membuatnya tidak
nyaman. Namun demi sopan santun dia pun membalas.
“Terima kasih, Kak...,”
“Ian, panggil aku Ian.”
Senyumnya.
***
“Ayaahh..., sarapan sudah
siap!” teriak Calibri satu tahun kemudian.
Kehidupan pun berjalan dengan
normal kembali. Walaupun beberapa kali ayah sempat terlihat tidak ceria dan
sedih setiap kali merindukan Ibu, namun segalanya berlangsung dengan normal.
Saat ini ayah sedang datang berkunjung setelah empat bulan tidak bertemu dengan
Calibri. Ayah harus bekerja di luar negeri. Setidaknya dalam setahun Ayah bisa
2-3 kali pulang ke tanah air.
Calibri tetap tinggal di
Indonesia, dititipkan pada bu Dyah, seorang janda, yang mengontrak di rumah
sebelah. Sejauh ini berjalan dengan lancar, uang kiriman dari Ayah selalu lebih
dari cukup, bahkan Bu Dyah pun juga mendapat jatah bulanan, sebagai ucapan
terima kasih telah menjaga Calibri selama Ayah tidak ada. Kebetulan juga kedua
anak lelaki Bu Dyah kuliah di luar kota, sehingga dengan senang hati wanita
paruh baya ini menjaga Calibri dan rumahnya.
Perlahan-lahan tubuh Calibri semakin tinggi dan berisi, tidak gemuk namun membuatnya jadi terlihat atletis
karena bekerja keras membersihkan rumah setiap harinya. Tidak perlu dipanggil
dua kali, ayah sudah muncul di dalam dapur.
“Hmmm..., kelihatannya lezat
nasi goreng ini.” Puji Ayah.
“Ya, memang selalu terlihat
lezat karena setiap hari juga aku buat nasi goreng hanya saja beda variasi,
Ayah.” Senyum gadis ini merasa geli dengan tingkah ayah.
“Tidak masalah. Kalau seperti
ini, Ayah yakin kamu pasti bisa jadi ibu rumah tangga yang sangat baik dan
disayang oleh suami.”
Mendengar ucapan ayah, anak
gadis mana yang tidak akan merasa malu? Calibri pun salah satu yang akan merasa
malu mendengar ucapan itu. Wajahnya yang berkulit coklat sekarang menjadi
berwarna merah. Melihat perubahan raut wajah putri tunggalnya tentu saja
membuat ayah tertawa bahagia. Beliau pun memeluk Calibri dengan penuh sayang.
***
Walaupun tubuh Calibri sudah
banyak berkembang dan juga atletis, tapi Calibri tetap tidak menyukai pelajaran
olahraga. Kalau di kelas, Calibri bisa berlagak agar tidak disadari oleh seluruh
teman-teman sekelas akan keberadaannya. Dia akan sangat diam dan duduk saja
dipojokan belakang kelas tanpa berusaha untuk dikenali.
Tapi ketika pelajaran olah
raga, usaha itu akan sia-sia. Sebagai contoh ketika latihan mengoper dalam
basket, mereka harus berpasang-pasangan, otomatis hal itu membuatnya harus
berteguran dengan salah seorang teman. Ataupun ketika latihan servis dalam
voli, senam, sepak bola, tidak ada olah raga yang bisa dilakukannya sendirian
saja. Pasti akan melibatkan anak lainnya dan hal itu benar-benar menyulitkan
Calibri. Bukan karena sombong dan tidak mau bertemu, namun lebih disebabkan
karena Calibri tidak tahan setiap kali mereka memandangi dirinya atau ketika dia
harus balik menatap wajah mereka.
“Calibri Serena,” panggil Pak
Omar, guru olah raga mereka di kelas satu SMP.
Walaupun enggan, Calibri tetap
mengangkat tangannya. Kemudian dia bangkit dari duduknya yang terletak agak
jauh dari anak-anak lainnya dan berjalan menghampiri Pak Omar.
Kali ini merupakan pengambilan
nilai Basket. Dia diharuskan mendribble,
passing, lay up, dan memasukkan bola ke dalam ring. Tentu saja dia tidak
akan sendirian. Dia akan berpasangan dengan seorang anak perempuan.
“Vanda Permata,” panggil Pak
Omar berikutnya.
Berdirilah seorang anak
perempuan yang berwajah cantik dan menarik, dengan kulit putih, hidung mancung,
mata besar, bibir tebal dan rambut ikal sepunggung. Dia terlihat sangat percaya
diri. Dipasangkan dengan seorang anak perempuan yang bahkan sebelumnya tidak
pernah dia ketahui keberadaannya di dalam kelas, tentu saja membuatnya menjadi
menganggap remeh Calibri.
Setelah Pak Omar meniupkan
peluit, Calibri segera mendribble bola
dengan lancar sampai ke ujung lapangan, sedangkan Vanda yang hanya menang di
gaya, merasa kesulitan menggiring bola merah tersebut.
Setelah itu peluit kembali
berbunyi, Calibri mengoper bola ke Vanda sambil menggeser ke samping, Vanda
berusaha untuk menangkapnya namun kesulitan setiap kali dia harus melakukannya
sambil bergerak ke samping, sehingga beberapa kali dia menjatuhkan bola tersebut,
bahkan operan bolanya beberapa kali tidak tepat sasaran.
Peluit berbunyi untuk yang
ketiga kalinya, Calibri berlari pelan menuju ring dan dengan gerakan anggun, dia
melompat dan melepaskan bola masuk ke dalam ring dengan mulus, atau yang biasa
disebut Lay up. Namun begitu giliran
Vanda yang melakukan lay up, dia
mendapat kesulitan. Mendribble saja
susah, ini ditambah harus melompat dan memasukkan ke dalam ring. Vanda merasa
kesal sekali.
Tes pengambilan nilai terakhir,
memasukkan bola dari posisi diam beberapa meter di depan ring. Sekali lagi, Calibri bisa melakukannya dengan
sangat baik. Walaupun dia malas olah raga, namun dia memang selalu mendapat
nilai bagus dalam pelajaran ini.
Sebaliknya, Vanda sudah tidak
tahan. Boro-boro bola masuk ke dalam ring, sampai ke ring saja tidak bisa.
Tanpa menyentuh ring, bola sudah jatuh di atas tanah lagi. Tentu saja dia
mendapatkan nilai yang jelek di mata pelajaran ini.
Setelah itu, Vanda menatap
Calibri dan merasa harga dirinya terinjak-injak. Padahal dia merupakan gadis
populer di sekolah ini. Dia memang tidak bangga dengan kemampuan olah raganya,
namun dikalahkan dengan telak oleh seorang anak perempuan yang sama sekali
tidak diketahui keberadaannya sebelumnya, tentu saja hal itu
sangat-sangatlah... memalukan!
***
Calibri sedang merasa keheranan.
Pasalnya buku tugas matematika miliknya tidak bisa ditemukan di dalam tas.
Padahal dia yakin sekali kalau sudah membawanya. Padahal buku itu harus
dikumpulkan sekarang untuk dinilai oleh Pak Rahmad. Dia pun menjadi sangat
panik. Murid-murid yang lain satu persatu sudah mengumpulkan buku tugasnya,
sedangkan Pak Rahmad belum masuk ke dalam kelas.
“Cal, buku kamu mana? Pak
Rahmad bentar lagi masuk.” Tegur Joko, sang ketua kelas, yang bertugas
mengumpulkan.
Calibri menggeleng pelan, tapi wajahnya sudah
sangat pucat. “Buku aku tidak ada.” Gumamnya pelan nyaris tidak terdengar oleh
Joko.
“Coba keluarin semua isi tas
kamu. Kali aja nyempil.” Usul Joko merasa kasihan pada teman sekelasnya yang
terkenal sangat pendiam dan penyendiri. Makanya walaupun yang lain duduk
berpasangan, karena jumlah murid di kelas ganjil, Calibri harus duduk sendirian.
Calibri menurut, dia
mengeluarkan seluruh isi tasnya yang hanya berupa buku pelajaran dan alat-alat
tulis. Diperiksanya satu persatu buku-buku yang dibawanya, yang memiliki sampul
buku yang sama, yaitu berwarna coklat.
“Ada?”
Calibri menggeleng.
“Ketinggalan di rumah?”
“Aku sudah membawanya, kok!”
“Terus gimana, dong? Aku musti
naro buku ini di atas meja guru sebelum Pak Rahmad dateng!”
“Ya udah, kumpulin aja, Ko,
nggak usah nungguin aku. Nanti aku lapor aja ke Pak Rahmad begitu beliau masuk
kelas.”
Tidak menjawab, Joko segera
berjalan ke muka kelas dan menyimpan semua buku-buku yang sudah dikumpulkannya
ke atas meja guru. Kemudian dia sendiri pun duduk di kursinya.
Tak lama kemudian seorang pria
paruh baya berumur hampir lima puluh tahun, berkumis tebal, berbadan tambun dan
berkulit gelap, masuk ke dalam kelas. Beliau adalah Pak Rahmad.
Joko memimpin seluruh murid
untuk memberi salam kepada Pak Rahmad. Setelah itu semua pun hening, sementara
Pak Rahmad langsung menuliskan sebuah rumus di atas papan tulis. Pak Rahmad
memang terkenal galak, namun cara mengajarnya mudah dimengerti, sehingga
murid-murid segan padanya.
Saat itulah, Calibri bangkit dari
kursinya dan maju ke depan kelas. Walaupun sebenarnya merasa sangat grogi dan
sebisa mungkin menghindari tatapan mata seluruh teman-teman satu kelas, namun
entah mengapa, ketika dia melewati meja Vanda, dia menolehkan kepalanya sedikit
dan melihat senyum di wajah anak perempuan itu.
Calibri langsung menunduk lagi.
Entah mengapa setelah melihat wajah Vanda, dia seperti melihat bayangan tubuh
Vanda yang berjalan masuk ke dalam kelas bersama kedua orang sahabatnya. Vanda
langsung berjalan menuju meja miliknya dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Namun lamunan itu terhenti
ketika dia sudah berdiri tepat di samping tubuh Pak Rahmad yang baru saja
selesai menulis materi pelajaran untuk hari ini. Tentu saja Pak Rahmad merasa
heran melihat salah satu murid terpintarnya sekarang berdiri di depannya dengan
kepala yang tertunduk dalam.
“Ya, kenapa, Nak Calibri?” tanya
Pak Rahmad dengan suara baritonnya yang sanggup memenuhi seluruh isi kelas
walaupun beliau hanya bermaksud berbicara pelan.
“Anu, Pak, sebelumnya saya
minta maaf, dan saya sangat yakin kalau sebelumnya saya membawa buku tugas
saya. Tapi entah mengapa ketika ingin dikumpulkan, buku itu tidak bisa saya
temukan di dalam tas.” Jelas Calibri tanpa basa-basi.
Pak Rahmad terdiam mendengar
penjelasan itu. Beliau agak merasa takjub dengan keberanian anak ini.
“Apakah tertinggal?” tanya beliau lagi.
Calibri menggeleng, “Saya tidak
tahu, Pak, karena sebelumnya saya yakin kalau saya membawanya. Tapi semoga saja
tertinggal.”
Saat ini dia sudah sangat
pasrah. Entah apa yang akan dilakukan Pak Rahmad padanya, dia sudah tidak
peduli. Saat inilah lamunan yang tadi sempat terhenti, kembali berlanjut. Dia
kembali melihat bayangan tubuh Vanda yang berjalan menuju lemari buku dan
menyimpan sesuatu di dalam sana. Setelah itu semuanya menghilang. Calibri menggelengkan kepalanya. Mungkinkah...?
“Ma-maaf, Pak, tapi boleh saya
permisi sebentar?” tanya Calibri dan tanpa menunggu jawaban Pak Rahmad, dia
berjalan menuju lemari buku di sudut kelas dan membukanya.
Lemari buku ini sebenarnya
hanya berisi buku absen, buku panduan untuk guru dan foto-foto kelas, sehingga
jarang ada murid-murid yang membukanya kecuali petugas piket. Calibri membukanya, dan memeriksa di bawah buku absen dan perkembangan kelas. Benar
saja, dia mendapati bukunya berada di sana. Calibri mengambil buku tersebut dan
berjalan kembali mendekati Pak Rahmad dengan wajah yang masih terheran-heran.
“Apa itu, Nak Calibri?”
“Aku... menemukan buku tugasku,
Pak...,” jawab Calibri pelan lebih merasa sangat heran dan kebingungan daripada
merasa senang.
***
“Aku masih tidak habis pikir,
bagaimana dia bisa menemukan bukunya dengan begitu cepat. Apakah ada salah satu
di antara kalian yang membocorkannya?” tanya Vanda dengan gemas kepada
teman-teman satu clique yang
seluruhnya berjumlah tiga orang termasuk dirinya. Mereka bertiga memang
cantik-cantik, kaya, lumayan pintar dan populer.
Kedua anak perempuan itu pun
menggeleng.
“Untuk apa kami membocorkannya?
Lagipula hal itu juga menjadi kesenangan bagi kami ketika melihatnya dihukum
oleh Pak Rahmad.” Jawab Stefany, gadis blesteran Inggris dan bertubuh paling
tinggi.
Vanda menggeleng masih merasa
tidak yakin. Otaknya kembali berputar merencanakan keisengan selanjutnya untuk
Calibri.
“Lagipula kamu ada dendam apa
sama anak itu sih? Perasaan dia kan pendiem banget, nggak ada teman yang deket
sama dia. Apa hanya karena dia ngalahin kamu dalam pengambilan nilai basket?”
Lanjut Deasy yang berkaca-mata. Padahal Vanda sudah sering membujuknya
menggantinya dengan contact lens saja, tapi Deasy tidak menurut. Bukannya tidak
mau, tapi mata Deasy ternyata sangat sensitif. Sehingga setiap dia memakai
contact lens, pasti langsung merah dan berair.
Vanda hanya mengangkat bahunya,
“Mungkin itu salah satunya.”
Stefany dan Deasy hanya geleng-geleng.
Vanda memang suka aneh dan iseng. Tapi disitulah letak kesenangannya ketika
berteman dengannya. Rasanya tidak pernah membosankan.
***
Vanda memang anak perempuan
yang agak keras kepala. Ketika dia merencanakan sesuatu, pasti harus
terlaksana. Rencana mengisengi Calibri pun dimulai.
Rencana berikutnya adalah
dengan menyembunyikan tas Calibri pada saat istirahat siang ketika kelas sedang
kosong, karena semua murid memang dilarang berada di dalam kelas, hal ini
dilakukan sebagai bentuk keamanan agar tidak ada barang yang hilang. Tapi
seperti sebelumnya, walaupun perlu beberapa saat, Calibri bisa menemukan tasnya
kembali di dalam kelas sebelah, tepatnya di dalam lemari juga.
Kemudian berlanjut pada pakaian
olah-raga milik Calibri yang dengan sengaja dilempar Vanda keluar kelas,
melewati balkon dan akhirnya jatuh di kolam ikan di taman sekolah yang
kebetulan tepat berada di bawah kelas. Namun Cerisa tidak ambil pusing.
Vanda jadi bertambah gemas
ketika rencana-rencananya ternyata tidak pernah berjalan mulus. Bahkan ketika
dia hendak menyorongkan kakinya ketika Calibri hendak berjalan melintas di
depannya pun, hal itu dengan sangat mudah dihindari olehnya.
Memang lambat laun, Calibri merasa agak kewalahan untuk melalui semua itu. Dia sendiri pun terheran-heran
kenapa Vanda iseng banget pada dirinya. Padahal jelas-jelas bisa dilihat dalam
mata Vanda tidak ada kebencian sedikit pun di sana.
“Kamu aneh banget, sih!” tanya
Vanda suatu hari ketika kebetulan hanya ada mereka berdua yang sedang duduk di
depan pintu ruang Tata Usaha.
“Aneh?” tanya Calibri terheran-heran.
“Ya, aku selalu melihatmu
seorang diri. Padahal kita ini kan makhluk sosial, sudah sepantasnya kau
bersosialisasi dengan teman-temanmu.” Lanjut Vanda.
Calibri tidak langsung menjawab,
sebenarnya dia agak merasa bingung harus menjawab bagaimana, karena baginya,
ucapan Vanda itu bukanlah merupakan kalimat tanya yang perlu dijawab. “Terima
kasih.”
Mendengar jawaban Calibri yang
agak tidak nyambung, membuat Vanda terheran-heran. “Kenapa berterima kasih?”
“Karena kupikir itu balasan
yang tepat untuk kalimat yang kau ucapkan padaku.” Jawab Calibri agak merasa
jengah dengan segala percakapan ini. Dia ingin Vanda segera pergi dan
membiarkannya duduk seorang diri.
Tentu saja Vanda langsung
tertawa keras, “Kau memang anak aneh!”
Setelah mengatakan itu, Vanda
pergi begitu saja. Meninggalkan Calibri dalam tanda tanya besar. Dia benar-benar
tidak paham di mana letak kelucuan dalam perbincangan mereka sampai Vanda harus
tertawa keras seperti itu.
Vanda boleh saja mengajaknya
berbincang-bincang seolah tidak ada masalah. Namun tetap saja, keisengan Vanda
dan teman-temannya tetap tidak berhenti sampai mereka naik ke kelas berikutnya.
***
--bersambung
Kak Ninna, terhanyut deh baca ceritanya. Btw, Frankfurt udah ada di rak buku nih, tinggal dibaca aja. Insya Allah nanti bakal ditulis reviewnya di blog buku. :D
BalasHapusMba saya mau tanya, mungkin ga bahas isi cerita. Bagaimana caranya supaya anak yg bercita-cita menjadi penulis? Pertanyaan serius. Hehehe. Salam 1minggu1cerita
BalasHapus@Intan Makasih yaaa, selamat membaca ;) Ditunggu reviewnya
BalasHapus@Phadli Maaf mas, pertanyaannya itu anaknya bercita-cita jadi penulis atau orang tuanya yang ingin anaknya jadi penulis? Gampangnya sih mas, anaknya disuruh nulis aja dulu. Diajarkan basic menulis cerita pendek aja dulu. Karakternya, alur ceritanya. Kalau sudah jadi, mas yang kirim deh ke penerbit :D